Kantor Bahasa Sultra Gencarkan Pelestarian Bahasa Wolio kepada Generasi Muda Sultra  12 Maret 2022  ← Back



Kendari, Kemendikbudristek — Memperingati Hari Bahasa Ibu Internasional yang jatuh pada 21 Februari, Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara (KBST) menyelenggarakan webinar bertema “Bahasa Ibu Kukuh, Indonesia Tangguh”. Kegiatan yang bertujuan untuk melestarikan Bahasa Wolio yang terus digencarkan KBST khususnya kepada generasi muda di daerah Sulawesi Tenggara (Sultra).
 
“Salah satu bentuk upaya pelestarian bahasa daerah adalah pewarisan bahasa tersebut kepada para generasi muda dan hal tersebut bersifat mutlak,” ujar Kepala KBST, Herawati, dalam sambutannya pada Rabu (23/2). Ia berharap, webinar yang ditayangkan melalui kanal Youtube Kantor Bahasa Sultra ini bisa menjadi ruang diskusi bersama guna mempertahankan dan mewariskan bahasa daerah kepada generasi muda.
 
Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), E. Aminudin Aziz menjelaskan definisi Bahasa Ibu dan perbedaannya dengan bahasa daerah.
 
Menurut Kepala Badan Bahasa, Bahasa Ibu belum tentu bahasa daerah karena bisa jadi anak-anak tersebut dididik di lingkungan yang menggunakan Bahasa Indonesia atau bahkan bahasa asing. Bahasa Ibu selain menjadi sumber pengembangan bahasa nasional (Bahasa Indonesia), juga memiliki fungsi emotif, kultural, pendidikan, politik, dan ekonomi.
 
Bahasa Ibu berfungsi emotif karena memengaruhi perasaaan, pola tutur, dan pola berpikir sehingga akhirnya memengaruhi sikap penuturnya. Berikutnya, Bahasa Ibu berfungsi kultural yang berlaku secara komunal, bukan lagi menjadi fungsi emotif yang bersifat personal. “Mudahnya, fungsi kultural ini menjadi penghubung nilai-nilai kultural antarpenutur Bahasa Ibu yang sama, dan mungkin kebetulan itu bahasa daerah.
 
Sebagai fungsi pendidikan, penggunaan Bahasa Ibu sebagai alat komunikasi di tingkat dasar lebih baik hasilnya daripada menggunakan bahasa keduanya. “Bahasa Ibu bisa juga digunakan sebagai fungsi politik. Kalau kita rujuk sejarah Hari Bahasa Ibu Internasional, 23 tahun yang lalu, penutur bahasa Bangla memperjuangkan bahasa ibunya. Pada saat itu, penggunaan Bahasa Ibu (bahasa Bangla) tidak diperbolehkan. Akhirnya, para penutur Bahasa Bangla tersulut untuk berdemonstrasi sehingga berdirilah negara Bangladesh,” jelas Kepala Badan Bahasa.
 
Terakhir, Bahasa Ibu memiliki fungsi ekonomi sehingga bisa menjadi sumber mata pencaharian. “Seperti yang dilakukan oleh Didi Kempot dan Doel Sumbang. Akhir-akhir ini juga banyak anak muda yang mengunggah konten-konten Bahasa Ibunya dan dijadikan sumber pendapatan,” ungkap dia.
 
Dua orang pembicara pada webinar ini ialah Firman Alamsyah Mansyur, Dosen Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Buton serta Multamia R.M.T. Lauder, Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia. Firman A.M. menyampaikan materi tentang “Pemertahanan Bahasa Wolio sebagai Bahasa Ibu”. Sedangkan Multamia R.M.T. Lauder menjelaskan bagaimana bahasa dan budaya membentuk ketangguhan komunitas. Keduanya berhasil menyampaikan materi dengan menarik.
 
Dalam paparannya, Firman A.M. menjelaskan perlunya mempertahankan Bahasa Ibu. Pertama, karena Bahasa Ibu sarat akan nilai keberagaman. Kedua, bahasa merupakan identitas. Ketiga, bahasa adalah ‘gudang sejarah’. Keempat, bahasa merupakan media pengantar ilmu pengetahuan. Kelima, bahasa menciptakan sastra.
 
Khusus untuk Bahasa Wolio, Firman menjelaskan bahwa bahasa tersebut merupakan bahasa pemersatu (lingua franca) pada zaman Kesultanan Buton sehingga pemertahanannya menjadi penting dan seharusnya lebih mudah karena daerah penuturnya cukup luas. Dalam Kesultanan Buton, selain penutur Bahasa Wolio, ada juga penutur bahasa-bahasa daerah, seperti Bahasa Ciacia, Bahasa Pulo, dan Bahasa Moronene.
 
“Bahasa Wolio sebagai Bahasa Ibu bagi orang Wolio menjadi penting karena merupakan bahasa resmi Kesultanan Buton. Untuk saat ini, bahasa Wolio memang mengalami pergeseran sehingga perlu dipertahankan, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat yang lebih luas,” tegasnya.
 
Sementara itu, Multamia, dalam pemaparannya banyak mengetengahkan bagaimana Bahasa Ibu menjadi penting di tengah masyarakat penuturnya. Sebagai contoh, Bahasa Ibu berperan penting dalam penamaan dunia maritim dan penamaan rupa bumi di daerah tertentu. Penamaan dan pengistilahan dalam Bahasa Ibu mengandung makna mendalam bisa menyangkut informasi tentang geografis, bentuk, dan sebagainya.
 
Selain itu, dalam penanganan kasus Covid-19 yang awalnya banyak menggunakan istilah-istilah baru yang tidak dikenal masyarakat kemudian diubah ke dalam Bahasa Ibu/bahasa daerah. Menurutnya, Badan Bahasa mengambil langkah tepat dengan menerbitkan Pedoman Perubahan Perilaku Protokol Kesehatan 3M dalam 77 Bahasa. Bahkan, merujuk informasi terakhir sudah sampai 100-an Bahasa Ibu.
 
“Informasi-informasi dengan menggunakan Bahasa Ibu lebih mudah dimengerti oleh masyarakat/komunitas terutama yang menggunakan Bahasa Ibu yang sama. Kemudian, protokol kesehatan dan segala jenis makanan yang dianggap dapat mencegah dan meningkatkan imun tubuh disampaikan menggunakan Bahasa Ibu. Hal ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat/komunitas tersebut,” tutup Multamia. *(KBST/Mery/Denty)*
Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1577 kali