Giliran Profesor Harvard University Beri Kuliah Umum di Kemendikbud  07 Agustus 2015  ← Back

Jakarta, Kemendikbud --- Setelah mendapat kunjungan Professor Otto Scharmer dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada awal Juli lalu, pagi ini, Jumat (7/8) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) kembali menerima kuliah umum, kali ini dari Harvard Kennedy School of Government, Harvard University, Amerika Serikat. Pada kesempatan ini, Lant Pritchett, seorang professor praktik pembangunan internasional, hadir menyampaikan pandangannya tentang pendidikan di negara-negara berkembang, khususnya Indonesia.
 
Kuliah umum dihadiri oleh sejumlah pejabat eselon I dan II di lingkungan Kemendikbud, termasuk para peneliti dan perekayasa. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Anies Baswedan juga hadir memberikan sambutan singkat sebagai pengantar seminar. Ia mengatakan, kesempatan emas ini harus digunakan sebagai ajang bertukar pikiran, termasuk memunculkan kritik dan tantangan bagaimana menerapkan apa yang disampaikan dalam konteks Indonesia.
 
“Prof. Pritchett akan menyampaikan perspektifnya. Nanti bagian kita adalah masalah di Indonesia seperti apa, bagaimana membuat link antara keduanya,” tutur Mendikbud.
 
Dalam kesempatan yang sama, Mendikbud juga menyampaikan secara singkat mengenai kebijakan pendidikan yang dilakukan di Indonesia kepada Profesor Pritchett. “Tantangan Indonesia adalah menyiapkan populasi, salah satunya dengan pendekatan pendidikan. Ada tiga strategi yang kami lakukan, yaitu memperkuat aktor pendidikan, meningkatkan akses dan mutu pendidikan, serta memperkuat tata kelola dan partisipasi publik,” jelas Mendikbud.
 
Dalam materinya berjudul “The Pivot to Learning: Education System for Accelerated Progress”, Pritchett, menggunakan hasil penilaian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebutkan, 58 persen anak-anak Indonesia memiliki kemampuan membaca level 1 dan tidak ada yang mencapai di atas level 4. Ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia belum memadai.
 
Pritchett yang pernah berada di Indonesia selama dua tahun ini menjelaskan, jika Indonesia tidak mengubah strateginya dalam menjalankan sektor pendidikan di Indonesia, maka setidaknya perlu berpuluh-puluh tahun lamanya untuk membuat pendidikan di Indonesia benar-benar memadai.
 
“Itu artinya, setelah generasi keempat, anda  baru mendapatkannya. Terlampau lama. Untuk itu, Indonesia perlu akselerasi dramatis untuk dapat mengubah pendidikan di Indonesia memiliki standar kualitas paling memadai,” ujarnya.
 
Profesor penulis buku “The Rebirth of Education: Schooling Ain’t Learning” ini membagi dua sistem pendidikan dalam istilah spider (laba-laba) dan starfish (bintang laut). Menurutnya, sistem pendidikan laba-laba dikendalikan oleh birokrasi top-down (dari atas ke bawah) milik pemerintah. Sistem laba-laba ini menentukan segalanya. Ia berusaha mengendalikan seluruh sistem, menentukan sekolah mana yang harus dibangun, guru mana yang harus bertugas di sekolah mana, program apa yang bisa didanai, dan subjek apa saja yang perlu diajarkan. Meskipun birokrasi luas jangkauannya, namun semua keputusan yang dibuat dalam satu lokasi terpusat, yaitu otak laba-laba, yakni pemerintah.     
 
Dalam sistem top-down, semua kekuatan terletak pada administrator. Tapi, kata Pritchett, mendidik anak membutuhkan sistem yang jauh lebih kompleks dan fleksibel daripada birokrasi top-down. Inilah yang ia sebut sistem bintang laut. “Beberapa jenis bintang laut tidak memiliki otak sama sekali, tetapi setiap tentakelnya bekerja saling terhubung dan terkontrol. Setiap bagian tubuh bintang laut dapat bergerak secara independen,” tuturnya.
 
Ada enam karakteristik sistem pendidikan bintang laut, yaitu terbuka, operasional lokal, tekanan kinerja, jejaring profesional, dukungan teknis dan fleksibilitas pembiayaan. Ia mengakui, memang tidak ada solusi tunggal dalam memecahkan masalah di semua sekolah. Namun, Pritchett mendukung terciptanya sistem bintang laut pada sekolah.  (Ratih Anbarini)

Sumber :

 


Penulis :
Editor :
Dilihat 2713 kali