Frankfurt Book Fair 2015 Resmi Dibuka dengan Tema Kebebasan Berekspresi  14 Oktober 2015  ← Back

Frankfurt, 14 Oktober 2015 --- Frankfurt Book Fair 2015, dimana Indonesia menjadi Tamu Kehormatan resmi dibuka 13 Oktober 2015 sekitar pukul 18.00 waktu setempat. Saat ini pula pertama kalinya Paviliun Indonesia dikunjungi  figur publik, pelaku industri perbukuan, dan para undangan lainnya. Tahun ini Frankfurt Book Fair mengangkat tema "Kebebasan Berekspresi".
 
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan dalam pidatonya mengatakan, menjadi tamu kehormatan adalah kesempatan prestisius bagi Indonesia, sebuah negara yang belum banyak dikenal di Jerman maupun Eropa, sehingga butuh kerja ekstra keras dalam mempersiapkan diri.
 
"Tujuan kami tentu saja bukan hanya untuk membuat Indonesia dikenal, atau diakui, tapi juga mengundang, mengajak Eropa ke dalam sebuah percakapan yang lebih luas. Terutama di masa ini, ketika ribuan orang dari luar Eropa datang berpindah dan di antaranya sudah jadi bagian dari kehidupan di sini (Jerman)," ujarnya saat acara pembukaan Frankfurt Book Fair di Frankfurt, Jerman, (13/10/2015).
 
Menteri Kebudayaan dan Media Republik Federal Jerman Monika Grutters dalam pidatonya juga mengungkapkan bagaimana Jerman bisa bercermin dari Indonesia.
 
"Tamu kehormatan Pekan Raya Buku Frankfurt tahun ini, Indonesia, sebuah negara dengan demokrasi yang masih muda, negara dengan populasi muslim terbesar, seringkali diusung sebagai panutan dalam hal bagaimana Islam dan demokrasi dapat berdampingan. Di sisi lain, Jerman sebagai penerima tamu, harus kembali mempertanyakan diri sendiri, bagaimana kita harus melindungi dan mempertahankan nilai-nilai demokrasi yang telah menjadikan Jerman sebagai negara tujuan dari ribuan pengungsi."
 
Pada pidatonya, Ketua Komite Nasional Indonesia yang juga seorang sastrawan, Goenawan Mohammad, mengutip sebuah puisi Jawa abad ke-19 mengenai seorang bernama Malang Sumirang yang dianggap menentang hukum dan ajaran agama, hingga dikenakan sanksi hukuman dibakar hidup-hidup. Namun dikisahkan ia dapat lolos dari hukuman setelah meminta pena dan kertas untuk menulis. Sebuah alegori mengenai kebebasan berekspresi, bahwa makna (tulisan) tidak bisa dikuasai.
 
"Yang saya harapkan ialah bahwa kita semua bersedia mengingat kembali apa yang dilakukan Malang Sumirang: kita menulis untuk menegaskan kesetaraan manusia. Kita menulis untuk menghidupkan percakapannya. Dan dengan demikian kita menulis juga untuk menumbuhkan kemerdekaannya,” ujar Goenawan.
 
Isu kebebasan berekspresi memang mutlak di dalam buku dan dunia pemikiran. Heinrich Riethmuller, Presiden Asosiasi Penerbit dan Toko Buku Jerman menegaskan hal ini dalam pidatonya.
 
"Bagi kami, hak dalam kebebasan menyampaikan opini dan ekspresi, serta hak untuk menerima dan menyampaikan informasi adalah nilai yang  dapat ditawar, yang tercantum dalam ayat 19 deklarasi hak asasi manusia; Hak-hak inilah yang menjadi basis masyarakat demokratis, yang kemudian juga menjadi dasar profesi kita sebagai penerbit dan pebisnis buku.”
 
Selesai acara pembukaan, para undangan dapat langsung melihat dan mengalami sendiri Paviliun Indonesia seluas 2500 meter persegi, yang mengambil konsep "17.000 Islands of Imagination". (***)
 
(Desliana Maulipaksi/Sumber: Komite Nasional Indonesia sebagai Tamu Kehormatan Frankfurt Book Fair 2015).

Sumber :

 


Penulis :
Editor :
Dilihat 644 kali