Dibalik Tema 'Bahari' Konferensi Nasional Sejarah X 2016  24 Mei 2016  ← Back

Jakarta, Kemendikbud ---Indonesia sebagai sebuah negara maritim yang 2/3 luasnya adalah perairan, tentu masyarakatnya akrab dengan laut. Sayangnya, laut yang menjadi kekayaan bangsa ini belum dikelola optimal. Konferensi Sejarah Nasional (KSN) X tahun 2016 mengusung tema 'bahari' sebagai salah satu upaya membangkitkan kembali kepedulian anak bangsa terhadap laut.

Susanto Zuhdi, guru besar sejarah di Universitas Indonesia yang juga tokoh di Komunitas Masyarakat Sejarah Indonesia (MSI) mengatakan, tema besar "Budaya Bahari dan Dinamika Kehidupan Bangsa dalam Perspektif Sejarah" yang diangkat dalam KSN X 2016 adalah salah satu cara untuk memperhatikan laut. Sebagai satu-satunya negara di dunia yang secara geografis lautnya 2/3 dari luas negara, pengetahuan masyarakat Indonesia tentang laut masih jauh dari harapan. Padahal, bahari itu tidak hanya tentang laut. "Tapi juga sastra dan seni, yang pada akhirnya bahari adalah kehidupan itu sendiri," kata Susanto dalam konferensi pers penyelenggaraan KSN X bersama Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid, di Jakarta, Senin (23/05/2016).

Imajinasi tentang laut, kata Susanto, akan berkembang apabila pengetahuan faktual tentang sejarah diberikan kepada masyarakat. Studi tentang sejarah maritim belum lama dikembangkan, baru sekitar era 1980-1990an. Maknanya, masih banyak aspek dan fakta-fakta yang belum digali dari laut.

Pada tema KSN X, kata 'bahari' dipilih dengan pertimbangan nilai rasa dan makna. Menurut Susanto, kata 'bahari' memiliki kedekatan dengan budaya yang merupakan softpower sebuah bangsa. Sedangkan 'maritim', lebih dekat dengan negara atau pilar-pilar keras. Pendekatan budaya yang diangkat dalam tema diharapkan dapat membangkitkan imajinasi masyarakat tentang laut. Tak jarang, laut juga digambarkan sebagai kehidupan.

Beragam metafora muncul terinspirasi oleh laut. Misalnya, dua orang yang baru saja melakukan ijab qabul digambarkan sebagai sepasang anak manusia yang bersatu untuk mengarungi samudera luas dengan bahtera yang disebut pernikahan. Begitu besar pengaruh laut kepada kehidupan tentunya menjadi tanda betapa penting keberadaan laut bagi dunia.

Anhar Gonggong, seorang sejarawan yang juga tokoh MSI mengatakan, selama ini ada kesalahan dalam pengelolaan laut. Masyarakat, utamanya yang bermukim di pesisir sudah terlalu lama memunggungi laut. Laut yang menjadi sumber kehidupan justru tidak terpelihara. Yang terjadi saat ini terlalu banyak pengelolaan daratan, padahal laut adalah "benua" ke-lima di bumi. "Saatnya melakukan koreksi terhadap apa yang sudah kita lakukan selama ini. Di KNS kali ini kita coba menjadikannya sesuatu hal untuk berimajinasi tentang laut," katanya.

KNS X akan diselenggarakan di Jakarta, 7-10 November 2016. Pertemuan para sejarawan ini akan diikuti oleh 232 peserta dari Indonesia juga nara sumber dari Masyarakat Sejarah Malaysia dan Filipina.

Sumber :

 


Penulis : aline rogeleonick
Editor :
Dilihat 1091 kali