Peserta Simposium Internasional Austronesia Kenali Subak Bali Lebih Dekat  20 Juli 2016  ← Back

Tabanan, Bali, Kemendikbud --- Selain sesi diskusi, rangkaian acara The International Symposium on Austronesian Diaspora juga meliputi tinjauan ke lapangan (fieldtrip). Para peserta diajak berkunjung ke situs Austro-tradisi Subak di Desa Jatiluwih, Kabupaten Tabanan, dan situs Austro-Protosejarah di Gilimanuk. Subak di Desa Jatiluwih menjadi tujuan pertama fieldtrip "Austronesian Diaspora" yang dilaksanakan di hari ke-3 pelaksanaan simposium, Rabu (20/7/2016).

The International Symposium on Austronesian Diaspora 2016 diselenggarakan Pusat Penelitian Arkelogi Nasional (Puslit Arkenas), dan didukung oleh Direktorat Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud. Arkeolog senior dari Puslit Arkenas, Truman Simanjuntak mengatakan, kegiatan ilmiah dalam simposium internasional ini dirancang tidak hanya untuk diskusi ilmiah, tetapi juga meliputi kegiatan pendamping untuk memperkaya pengetahuan para peserta simposium, salah satunya dengan fieldtrip.


"Kunjungan ke situs Gilimanuk untuk melihat bukti kehadiran penutur Austronesia. Sedangkan subak merupakan tradisi Austronesia yang berlangsung sampai sekarang. Subak adalah sebuah nilai, karena di situ terpadu aspek lingkungan masyarakat, kegiatan masyarakat, dan aspek spiritual, ada konsep Tri Hita Karana," tutur Truman.

Tri Hita Karana merupakan konsep mengenai hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesamanya dan manusia dengan alam sekitarnya. Kegiatan di subak bukan hanya mengenai pertanian, tapi juga mencakup interaksi sosial masyarakat tani dan ritual keagamaan yang bermuara pada kesuksesan dalam mengelola usaha tani.

Sebelum mengunjungi subak di Desa Jatiluwih para peserta simposium internasional tentang diaspora Austronesia diajak berkunjung ke Museum Subak yang berada di Kabupaten Tabanan. Di auditorium Museum Subak, mereka mendengarkan penjelasan dari pemandu museum tentang latar belakang dan konsep subak di Bali, dilanjutkan dengan sesi tanya jawab. Kemudian mereka masuk ke ruang pamer, di mana terdapat alat-alat untuk bertani di subak, serta sejarah subak dari masa ke masa.

Selanjutnya rombongan bergerak menuju Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan. Subak di Desa Jatiluwih itu merupakan salah satu kawasan yang ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia pada bulan Juni 2012. Desa Jatiluwih berada pada ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, sehingga desa ini menyajikan sebuah panorama alam yang menawan dan berhawa sejuk. Total jarak tempuh dari lokasi penyelenggaraan simposium di Nusa Dua menuju Desa Jatiluwih mencapai lebih dari 60 km.

Di Desa Jatiluwih, para peserta simposium bisa melihat subak dari jarak lebih dekat, namun mereka tidak sempat turun ke subak karena kondisi cuaca sedang turun hujan. Namun mereka sempat mendengarkan penjelasan khusus tentang kondisi subak di Desa Jatiluwih yang luasnya mencapai 303 hektar.

Truman Simanjuntak mengatakan, sistem subak juga kemungkinan ditemukan di daerah lain di Indonesia, namun dengan daya tahan yang berbeda-beda. "Misalnya di daerah Karawang, Jawa Barat, masih dipertahankan," katanya. Ia berharap, kunjungan lapangan sebagai bagian dari rangkaian kegiatan simposium tentang studi Austronesia ini dapat memperkenalkan kekayaan budaya Indonesia yang juga menjadi bagian dari warisan leluhur Austronesia kepada dunia internasional. (Desliana Maulipaksi)

Sumber :

 


Penulis : Desliana Maulipaksi
Editor :
Dilihat 601 kali