Simposium Satu WCF 2016: Mama Aletta Paparkan Pelestarian Kebudayaan Akibat Modernisasi  11 Oktober 2016  ← Back

Nusa Dua-Bali, Kemendikbud --- Ketiga simposium dari enam simposium mulai digelar secara bersamaan, di Bali Nusa Dua Convention Center, Bali, Senin (11/10/2016). 
 
Pada simposium pertama, Aleta Baun, perwakilan dari Indonesia, menjelaskan mengenai pelestarian kebudayaan yang dilakukan karena dampak modernisasi. Materi ini merujuk pada sub tema simposium yaitu Membangkitkan Kembali Kebudayaan untuk Keberlanjutan Pedesaan. 
 
Mama Alleta, demikian dia dipanggil, mengungkapkan modernisasi telah memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat Nusa Tenggara Timur. “Saya tinggal di Desa Mollo dimana sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani jagung, dan penjual hasil hutan,” ujarnya. 
 
Namun, lanjutnya, tindakan modernisasi berakibat pada ketidakseimbangan kebudayaan di desa kami. Dia mencontohkan, ketika terjadi penyeragaman jenis tanaman hutan maupun peralihan fungsi hutan menjadi hutan tanaman industri berdampak negatif pada kebudayaan kami. “Kami jadi tidak bisa melakukan pekerjaan kami karena mayoritas pekerjaan adalah bertani dan menjual hasil hutan, sehingga itu menyebabkan konflik antara lelaki di dalam keluarga di dalam desa kami,” ujarnya. 
 
Tidak hanya itu, perizinan pengelolaan gunung menjadi wilayah penambangan batu bara pun turut menambah daftar ketidakseimbangan kebudayaan. 
 
“Saya berasal dari keturunan Amman dan gunung batu merupakan asal kami dan disakralkan menurut adat kami, tapi hal itu bergeser karena sudah diubah menjadi tambang-tambang batu bara,” ungkapnya. 
 
Menurutnya, perusakan tidak dapat didiamkan. “Kebudayaan mengajarkan kami untuk memperlakukan alam seperti memperlakukan tubuh kami,” ujarnya. Sehingga, lanjutnya, perusakan-perusakan terhadap hutan itu merusak tubuh kami. 
 
Ketika berjuang untuk pelestarian kebudayaan, Mama Aletta pun justru mendapat perlawanan dari kebudayaannya sendiri. “Saya anak dari Suku Amman dimana wanita tidak punya hak untuk bersuara, memperjuangkan kebudayaan ini, sehingga saya pun mendapat kendala dari masyarakat NTT sendiri,” ujar Kepala Desa Mollo ini. Berkat perjuangan bersama dengan para wanita lainnya, Mama Alletta membagikan kunci keberhasilannya. Kami bekerjakeras utk menemukan cara dengan berdiskusi dengan tokoh adat dan anak muda. Kami membuat ritual dan menolak ekonomi yang merusak alam.
 
Ke depan, Mama Alletta menargetkan untuk perjuangan ekonomi yang berkelanjutan yang meningkatkan kebudayaan. 
 
“Merusak alam adalah merusak adat kami, jadi kami harus mengorganisasikan produksi alam kami,” ujarnya. 
 
Aletta menegaskan, pada pertemuan adat untuk tetap menjual apa yang kami produksi dan tidak akan menjual tanah, udara dan air sebagai bagian dari tanah tersebut. 
 
WCF merupakan perhelatan internasional yang menghimpun para menteri, delegasi dari 65 negara. Tahun ini, para delegasi akan duduk bersama untuk menyusun _platform_/rencana kerja peningkatan fungsi kebudayaan pada pembangunan ke dalam enam simposium, yaitu Simposium satu: Membangkitkan Kembali Kebudayaan untuk Keberlanjutan Pedesaan; Simposium dua: Air untuk Kehidupan: Merekonsiliasi Pertumbuhan Sosio Ekonomi dan Etika Lingkungan; Simposium Tiga: Menjalin Sejarah, Ruang Kota dan Gerakan Budaya. Simposium Empat: Kebudayaan Dalam Dunia Digital Baru; Simposiun Lima: Merekonsiliasi Negara, Masyarakat dan Kebudayaan yang Terpecah; Simposium Enam: Keragaman Budaya Untuk Pembangunan yang Bertanggungjawab.
 
Nusa Dua, 10 Oktober 2016 
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat 
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1417 kali