Siswa Penerima KIP Jadi Delegasi Kompetisi Sains Internasional 12 Mei 2017 ← Back
Jakarta, Kemendikbud --- Keterbatasan ekonomi tidak membuat siswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) berputus asa dan malas belajar. Sebaliknya, dua siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) penerima KIP asal Bali berhasil terpilih mewakili Indonesia dalam Intel-International Science Engineering Fair (Intel-ISEF) 2017 dan segera berangkat ke Amerika sebagai bagian dari delegasi Indonesia.
Bagus Putu Satria Suarima Putra dan Made Radikia Prasanta adalah siswa kelas XI di SMA Negeri Mandar, Bali. Pada tahun 2016 lalu, mereka menjadi pemenang Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Ditemui usai audiensi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat (12-5-2017), keduanya merasa beruntung dan bersyukur bisa mendapatkan bantuan pendidikan dari pemerintah. Mereka menggunakan dana manfaat Program Indonesia Pintar (PIP) untuk membantu memenuhi kebutuhan belajar atau sekolah. Selain membeli buku, tas, atau sepatu. Keduanya mengaku masih bisa menyisihkan dana KIP untuk ditabung.
Satria dan Radikia adalah siswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari SMA Negeri Mandar, Bali. Kedua orang tua Satria mencari nafkah dengan berjualan kerupuk, sekaligus memproduksi sendiri bahan-bahan dasar untuk membuat kerupuk. Orang tua Radikia pun bekerja dengan penghasilan yang tak menentu.
“Ibu jadi buruh harian di pabrik roti. Upahnya sekitar Rp60.000 sampai Rp70.000 sehari. Kalau ayah tukang pijat panggilan. Jadi jika dapat telepon dari orang akan memenuhi panggilan untuk memberikan jasa pijat,” ujar Radikia.
Kepada teman-teman di seluruh Tanah Air, khususnya para siswa penerima KIP, Satria dan Radikia berpesan agar tidak mudah putus asa dalam belajar dan meraih cita-cita. “Jadikan kemiskinan sebagai semangat untuk bangkit agar jadi lebih baik,” ujar Satria bersemangat.
Ditanya tentang cita-cita, Satria mengungkapkan keinginannya menjadi menteri di bidang teknologi atau klimatologi. Sementara Radikia memilih bercita-cita sebagai teknopreneur atau pengusaha di bidang teknologi.
Pengembangan Minat Siswa pada Bidang Sains
Mendikbud Muhadjir Effendy mengapresiasi semangat 14 siswa yang menjadi delegasi Indonesia dalam ajang kompetisi sains internasional Intel-ISEF 2017. "Saya harap kalian fokus mengerahkan segala daya upaya untuk hasil yang terbaik. Jangan berkompetisi hanya untuk menang," pesan Mendikbud sambil memotivasi para siswa.
Pengembangan proposal penelitian Satria dan Radika tentang psychrometer, yaitu alat untuk memprediksi cuaca, di ajang OPSI 2016 berhasil lolos menjadi salah satu makalah terbaik dan disertakan dalam Intel-ISEF tahun 2017. Bersama 7 makalah delegasi lain, karya dua siswa berprestasi ini siap berkompetisi membawa nama bangsa di tingkat internasional.
Alat pengukur cuaca (psychrometer) yang diciptakan Satria dan Radikia saat ini telah dikembangkan, sehingga data yang dikeluarkan lebih akurat dan dapat dipantau dari jarak jauh dengan menggunakan ponsel pintar atau komputer. Radikia mengatakan, psychrometer yang diciptakannya bersama Satria menggunakan sensor khusus untuk mengukur tekanan udara, suhu udara, dan kelembaban udara dari lingkungan sekitar.
“Semua data itu kemudian diproses dengan prosesor yang ada di psychrometer buatan kami, lalu diproses jadi data informasi cuaca, menggunakan rumus-rumus dari kajian ilmu kebumian dan geografi. Sedangkan pembuatan alat psychrometernya menggunakan ilmu elektronika,” jelas Radikia.
Kondisi cuaca di Kabupaten Buleleng, kampung halaman Satria, yang sulit diprediksi telah menjadi inspirasi bagi keduanya untuk menghasilkan karya. “Banyak petani yang kerugian panen, karena mengalami kekeringan. Lalu masyarakat yang bekerja di bidang industri tradisional seperti membuat kerupuk juga susah memprediksi cuaca untuk memproduksi bahan-bahan dasar membuat kerupuk,” tutur Satria yang kedua orang tuanya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang kerupuk.
Bersama 12 siswa lain, keduanya akan segera berangkat ke Los Angeles, Amerika Serikat, untuk mengikuti ajang Intel-ISEF pada tanggal 14-19 Mei 2017. Selain Satria dan Radikia, terdapat pula tiga pemenang OPSI tahun 2016 dalam delegasi Indonesia. Selain alumni OPSI, terdapat pula sembilan siswa pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Intel-ISEF merupakan kegiatan kompetisi terbesar pra-perguruan tinggi tingkat dunia yang mempertemukan lebih dari 1.700 hasil karya penelitian siswa sekolah menengah dari 78 negara. (*)
Bagus Putu Satria Suarima Putra dan Made Radikia Prasanta adalah siswa kelas XI di SMA Negeri Mandar, Bali. Pada tahun 2016 lalu, mereka menjadi pemenang Olimpiade Penelitian Siswa Indonesia (OPSI) yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Ditjen Dikdasmen) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Ditemui usai audiensi dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat (12-5-2017), keduanya merasa beruntung dan bersyukur bisa mendapatkan bantuan pendidikan dari pemerintah. Mereka menggunakan dana manfaat Program Indonesia Pintar (PIP) untuk membantu memenuhi kebutuhan belajar atau sekolah. Selain membeli buku, tas, atau sepatu. Keduanya mengaku masih bisa menyisihkan dana KIP untuk ditabung.
Satria dan Radikia adalah siswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari SMA Negeri Mandar, Bali. Kedua orang tua Satria mencari nafkah dengan berjualan kerupuk, sekaligus memproduksi sendiri bahan-bahan dasar untuk membuat kerupuk. Orang tua Radikia pun bekerja dengan penghasilan yang tak menentu.
“Ibu jadi buruh harian di pabrik roti. Upahnya sekitar Rp60.000 sampai Rp70.000 sehari. Kalau ayah tukang pijat panggilan. Jadi jika dapat telepon dari orang akan memenuhi panggilan untuk memberikan jasa pijat,” ujar Radikia.
Kepada teman-teman di seluruh Tanah Air, khususnya para siswa penerima KIP, Satria dan Radikia berpesan agar tidak mudah putus asa dalam belajar dan meraih cita-cita. “Jadikan kemiskinan sebagai semangat untuk bangkit agar jadi lebih baik,” ujar Satria bersemangat.
Ditanya tentang cita-cita, Satria mengungkapkan keinginannya menjadi menteri di bidang teknologi atau klimatologi. Sementara Radikia memilih bercita-cita sebagai teknopreneur atau pengusaha di bidang teknologi.
Pengembangan Minat Siswa pada Bidang Sains
Mendikbud Muhadjir Effendy mengapresiasi semangat 14 siswa yang menjadi delegasi Indonesia dalam ajang kompetisi sains internasional Intel-ISEF 2017. "Saya harap kalian fokus mengerahkan segala daya upaya untuk hasil yang terbaik. Jangan berkompetisi hanya untuk menang," pesan Mendikbud sambil memotivasi para siswa.
Pengembangan proposal penelitian Satria dan Radika tentang psychrometer, yaitu alat untuk memprediksi cuaca, di ajang OPSI 2016 berhasil lolos menjadi salah satu makalah terbaik dan disertakan dalam Intel-ISEF tahun 2017. Bersama 7 makalah delegasi lain, karya dua siswa berprestasi ini siap berkompetisi membawa nama bangsa di tingkat internasional.
Alat pengukur cuaca (psychrometer) yang diciptakan Satria dan Radikia saat ini telah dikembangkan, sehingga data yang dikeluarkan lebih akurat dan dapat dipantau dari jarak jauh dengan menggunakan ponsel pintar atau komputer. Radikia mengatakan, psychrometer yang diciptakannya bersama Satria menggunakan sensor khusus untuk mengukur tekanan udara, suhu udara, dan kelembaban udara dari lingkungan sekitar.
“Semua data itu kemudian diproses dengan prosesor yang ada di psychrometer buatan kami, lalu diproses jadi data informasi cuaca, menggunakan rumus-rumus dari kajian ilmu kebumian dan geografi. Sedangkan pembuatan alat psychrometernya menggunakan ilmu elektronika,” jelas Radikia.
Kondisi cuaca di Kabupaten Buleleng, kampung halaman Satria, yang sulit diprediksi telah menjadi inspirasi bagi keduanya untuk menghasilkan karya. “Banyak petani yang kerugian panen, karena mengalami kekeringan. Lalu masyarakat yang bekerja di bidang industri tradisional seperti membuat kerupuk juga susah memprediksi cuaca untuk memproduksi bahan-bahan dasar membuat kerupuk,” tutur Satria yang kedua orang tuanya memiliki mata pencaharian sebagai pedagang kerupuk.
Bersama 12 siswa lain, keduanya akan segera berangkat ke Los Angeles, Amerika Serikat, untuk mengikuti ajang Intel-ISEF pada tanggal 14-19 Mei 2017. Selain Satria dan Radikia, terdapat pula tiga pemenang OPSI tahun 2016 dalam delegasi Indonesia. Selain alumni OPSI, terdapat pula sembilan siswa pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Intel-ISEF merupakan kegiatan kompetisi terbesar pra-perguruan tinggi tingkat dunia yang mempertemukan lebih dari 1.700 hasil karya penelitian siswa sekolah menengah dari 78 negara. (*)