Lele Bioflok, Solusi Penuhi Kebutuhan Gizi Masyarakat   21 Juli 2017  ← Back

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus berupaya meningkatkan peran dalam menopang ketahanan pangan nasional. Produk pangan berbasis ikan saat ini menjadi andalan utama, seiring mulai terjadi pergeseran pola konsumsi masyarakat dari protein berbasis daging merah menuju protein daging putih (ikan). Saat ini konsumsi ikan masyarakat Indonesia baru mencapai 40 kg per kapita per tahun. Nilai ini masih jauh di bawah tingkat konsumsi negara lain seperti Jepang yang mencapai 110 kg per kapita per tahun, dan Malaysia yang mencapai 70 kg per kapita per tahun. Oleh karena itu, KKP memproyeksikan sampai dengan tahun 2019, tingkat konsumsi ikan naik menjadi > 50 kg per kapita per tahun. Dengan target tersebut setidaknya dibutuhkan suplai ikan sebanyak ± 14,6 juta ton per tahun, di mana sekitar 60 persen dari angka tersebut akan bergantung pada hasil produksi perikanan budidaya.
 
Sebelumnya, dalam ajang Festival Kuliner Ikan Nusantara, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengimbau masyarakat untuk mulai melirik ikan sebagai sumber pangan dengan membiasakan mengkonsumsi ikan setiap hari. Menteri Susi menilai, tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara lain, bahkan di level ASEAN sekalipun. Padahal menurutnya, ikan merupakan sumber protein yang berperan penting dalam meningkatkan kualitas kecerdasan generasi bangsa ini.
 
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya, Slamet Soebjakto, menyampaikan bahwa untuk mencukupi kebutuhan pangan nasional yang semakin tinggi, langkah utama yang perlu dilakukan adalah inovasi teknologi yang efektif dan efisien. Menurut Slamet, saat ini upaya mewujudkan ketahanan pangan mau tidak mau harus dihadapkan langsung dengan fenomena perubahan iklim dan penurunan kualitas lingkungan global. Di sisi lain perkembangan sektor industri dan ledakan jumlah penduduk juga turut memberikan kontribusi dalam mereduksi lahan sektor yang berbasis pangan. Ini perlu diantisipasi karena secara langsung akan berdampak pada penurunan suplai bahan pangan bagi masyarakat.
 
KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya telah melakukan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) budidaya dan terbukti berhasil. Salah satunya yaitu inovasi teknologi budidaya ikan Lele sistem bioflok. Teknologi budidaya ikan lele sistem bioflok adalah suatu teknik budidaya melalui rekayasa lingkungan dengan mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme, yang secara langsung dapat meningkatkan nilai kecernaan pakan.
 
Teknologi bioflok menjadi sangat popular saat ini karena mampu mengenjot produktivitas lele yang tinggi, penggunaan lahan yang tidak terlalu luas dan hemat air. “Bioflok ini menjadi solusi untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat, apalagi saat ini produk Lele sangat memasyarakat sebagai sumber gizi yang digemari,” terang Slamet.
 
Genjot Produktivitas Hingga Tiga Kali Lipat
 
Inovasi teknologi sistem bioflok pada kegiatan budidaya dilakukan melalui rekayasa lingkungan dengan mengandalkan suplai oksigen dan pemanfaatan mikroorganisme. Inovasi yang dikembangkan ini dapat menggenjot produktivitas budidaya hingga tiga kali lipat dibandingkan dengan budidaya sistem konvensional.
 
Sebagai perbandingan, budidaya dengan sistem konvensional dengan padat tebar 100 ekor/m3 memerlukan 90-110 hari untuk panen, sedangkan untuk sistem bioflok dengan padat tebar 500-1000 ekor/m3 hanya membutuhkan 75-90 hari saja. Di samping itu, penggunaan pakan lebih efisien. Jika pada teknologi konvensional nilai Feed Convertion Ratio (FCR) rata-rata 1,5, dengan teknologi bioflok FCR dapat mencapai 0,8 – 1,0. Artinya untuk menghasilkan 1 kg daging ikan pada teknologi konvensional membutuhkan rata – rata 1,5 kg pakan, sedangkan dengan teknologi bioflok hanya membutuhkan 0,8 – 1,0 kg pakan.
 
Di banyak daerah teknologi bioflok terbukti sangat efisien. Sebagai ilustrasi dengan rata-rata padat tebar 1.000 ekor/m3, maka dalam satu kolam bulat ukuran diameter 3 m, dapat ditebar benih lele sebanyak minimal 3.000 ekor, dan mampu  menghasilkan  lele konsumsi mencapai 300 – 500 kg per siklus (75-90 hari). Artinya jika dibanding dengan teknologi konvensional, budidaya sistem bioflok ini mampu menaikan produktivitas > 3 kali lipat. 
 
Begitupun secara perhitungan bisnis, usaha ini juga sangat profitable. Sebagai gambaran dalam 1 (satu) unit usaha, yaitu 12 lubang kolam diameter 3 m dengan kepadatan 3.000 ekor benih/kolam, akan menghasilkan produksi sebanyak 4,3 ton per siklus. Dengan kata lain, pembudidaya dapat meraup keuntungan sekitar 21,6 juta per siklus atau sekitar Rp7,2  juta per bulan. Salah satu kelebihan lain, pengembangan lele bioflok juga dapat diintegrasikan dengan sistem hidroponik, di mana secara teknis air buangan limbah budidaya yang mengandung mikroba dapat dimanfaatkan sebagai pupuk yang baik bagi sayuran.
 
Kenalkan Lele Bioflok ke Lingkungan Pondok Pesantren
 
KKP melalui Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya (DJPB) menggandeng lingkungan pondok pesantren sebagai sasaran pengembangan teknologi bioflok, melalui program “Bioflok Masuk Pesantren”. Pesantren dipilih sebagai lokasi pengembangan teknologi bioflok karena dinilai sebagai lingkungan yang efektif untuk pengembangan usaha budidaya.
 
Pesantren memiliki lahan yang cukup luas, kelembagaan koperasi, sistem manajemen yang rapi dan teratur, serta Sumber Daya Manusia (SDM) dalam hal ini jumlah santri yang memadai. Bahkan satu pesantren dapat memiliki hingga 10.000 santri yang handal dan disiplin sebagai kunci keberhasilan usaha budidaya lele yang membutuhkan ketelatenan dan ketelitian. Pesantren juga dapat menjadi contoh yang efektif karena menjadi panutan masyarakat. Namun demikian, tingkat konsumsi ikan santri masih rendah. Pengenalan usaha lele bioflok di lingkungan pesantren ini, diharapkan akan mampu mewujudkan pemberdayaan umat, sebagaimana pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo.
 
Tahun ini KKP akan mengalokasikan dukungan sebanyak 103 paket, dengan rincian 71 paket dari pusat dan 32 paket dari Unit Pelaksana Teknis (UPT), yang akan diberikan terhadap 73 pondok pesantren, 12 kelompok pembudidaya ikan, dan 3 lembaga pendidikan, yang tersebar di 15 Provinsi, termasuk diantaranya wilayah perbatasan yaitu Provinsi NTT (Kabupaten Belu), Provinsi Papua (Kabupaten Sarmi dan Wamena), Provinsi Kalimantan Utara (Kabupaten Nunukan). Total dukungan tersebut masing-masing terdiri dari 12 kolam dengan diameter 3 m, benih lele, pakan dan obat ikan, probiotik (larutan bakteri), dan sarana operasional.
 
Dukungan pada pondok pesantren ini diharapkan dapat memberdayakan setidaknya sekitar 78.500 orang santri. Ada 2 (dua) hasil (outcome) yang diharapkan dapat dicapai dengan mendorong program ini, yaitu: Pertama, terwujudnya pergerakan ekonomi di pondok pesantren dan yayasan, dengan memberdayakan koperasi pesantren. Dukungan ini diharapkan akan mampu menghasilkan produksi ikan Lele konsumsi sebanyak 440,325 ton per siklus atau 1.321 ton per tahun, dengan nilai ekonomi produksi sebesar Rp21,14 miliar per tahun, dengan angka tenaga kerja yang dapat terlibat mencapai 1.030 orang.
 
Kedua, meningkatnya konsumsi ikan per kapita di kalangan masyarakat pondok pesantren. Sebagaimana diketahui, tingkat konsumsi ikan dikalangan para santri masih rendah yaitu hanya sekitar 9,6 kg per kapita/tahun. Dengan adanya program ini diharapkan akan mampu mendorong tingkat konsumsi ikan di kalangan santri sampai 15 kg per kapita/tahun, sehingga secara langsung akan meningkatkan perbaikan gizi. Paling tidak dukungan awal ini akan memicu frekuensi konsumsi ikan di pondok pesantren yang semula kurang dari 1 kali dalam seminggu, menjadi paling tidak 2 kali dalam seminggu.
 
KKP menggandeng stakeholder terkait seperti Perguruan Tinggi dan LSM untuk turut serta melakukan pembinaan dan pendampingan teknologi, sehingga usaha akan berkesinambungan. KKP juga menggandeng organisasi keagamaan dalam hal ini PP Muhamadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk bekerjasama dalam program pengembangan lele bioflok ini.
 
Sementara itu, secara nasional target ikan lele untuk tahun 2017 diproyeksikan sebesar 1,39 juta ton, dimana realisasi hingga triwulan 1 mencapai 225 ribu ton. Melalui kegiatan pengembangan teknologi bioflok ini, maka diharapkan mampu menyumbang pencapaian sasaran produksi lele nasional.*)