Temuan Saber Pungli di Kemendikbud Segera Ditindaklanjuti   24 Agustus 2017  ← Back

Manado, Kemendikbud—Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Itjen Kemendikbud) akan segera menindaklanjuti hasil temuan Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli). Upaya tindak lanjut akan berlangsung dengan instrumen penelaahan, seperti audit, fact finding, sidak, gawai melalui pesan singkat atau surat elektronik aplikasi WhatssApp.
 
“Terpenting kita merespon dan sedang dalam proses menindaklanjuti itu. Informasi awal itu disampaikan yang disampaikan Pungli Pusat itu ada sebesar 743 dan 90 persennya itu sudah ditindaklanjuti dari langkah tadi, ada menyusul berarti ada perlu klarifikasi lebih lanjut,” ujar Inspektur Suyadi usai memberikan pemaparan mengenai Pembiayaan Pendidikan kepada para peserta Bimbingan Teknis Penguatan Pendidikan Karakter untuk Kepala Sekolah dan Pengawas Sekolah, di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (23/8/2017). 
 
Mengutip siaran pers Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan, yang dirilis Selasa lalu (22/8/2017), terdapat sebanyak 31.110 laporan yang diterima dari masyarakat, dengan bentuk pengaduan dominan berasal dari pesan singkat, yaitu sejumlah 20.020 aduan. Dilihat dari sektor pengaduan, sebanyak 36 persen berasal dari sektor pelayanan masyarakat, 26 persen dari sektor hukum, 18 persen dari sektor pendidikan, 12 persen dari perizinan, dan delapan persen dari sektor kepegawaian. Tercatat juga, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menduduki posisi pertama dari instansi yang mendapatkan pengaduan pungli, diikuti Polisi Republik Indonesia, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Kementerian Agama, Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional, Kementeran Keuangan dan Tentara Nasional Indonesia.
 
Inspektur Investigasi Itjen Kemendikbud, Suyadi, menjelaskan sebenarnya, temuan pungli terjadi terutama di sekolah. “Secara kwantitas ada 743 dan 72 persennya di sekolah, 24 persennya di dinas pendidikan, 1 persennya di Kementerian,” ujarnya. 
 
Temuan itu, lanjutnya, memerlukan tindaklanjut lagi. “Kami agak risau tatkala itu ditujukan kepada Kementerian,” ujarnya. 
 
Sebagai informasi, sejak dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, layanan pendidikan terbagi menjadi ke dalam wewenang Pemerintah Pusat, dan Pemerintah Daerah yang mencakup provinsi maupun kabupaten/kota. 
 
Paham aturan main 
Minimnya pemahaman pihak sekolah mengenai ‘aturan main’ pengeloaan pendanaan pendidikan menjadi faktor dominan terjadinya pungutan liar. Inspektur Suyadi menjelaskan, Undang-Undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendaan Pendidikan, mengatur sumber biaya satuan pendidikan dasar dan menengah berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Anggaran Pendapatan Belanja Daerah, sumbangan, dan sumber lain yang sah. 
 
Sehingga, terdapat jaminan bahwa pendidikan dasar menjadi pendidikan wajib dan ditanggung Pemerintah, melalui standar pelayanan dari pemerintah. Di lapangan, menurut Suyadi, standar ini berubah tiap tahun mengikuti tingkat kemahalan di setiap daerah. Pada sisi lain, terdapat tuntutan dari pihak orang tua yang menghendaki layanan pendidikan dengan standar yang lebih baik. 
 
Sehingga, sekolah sebagai satuan pendidikan, berupaya lakukan improvisasi untuk memenuhi tuntutan dan kenyataan tersebut. 
 
“Celahnya, teman-teman di sekolah tidak paham aturan mainnya, padahal tiap sekolah pasti mempunyai keinginan memajukan sekolah. Tapi, keinginan tersebut tidak dipayungi hukum untuk membeli ini dan itu,” ujar Suyadi. 
 
Dia mencontohkan ketika terdapat pengangkatan guru oleh pihak sekolah. Ketika terdapat sekolah yang memiliki kekurangan guru, kepala sekolah berusaha mencari guru untuk ada yang mengajar. “Improvisasi dilakukan mengangkat guru, padahal Pemerintah Daerah yang berwenang untuk mengangkat guru,” ujarnya. 
 
Akibatnya, terdapat peningkatan jumlah tenaga honorer di daerah. “Ini bentuk penyimpangan yang tidak sadar sampai kementerian mengambil kebijakan untuk membiayai guru honorer dari Dana BOS,” ujarnya. 
 
Pemda harus miliki unit cost 
Kemendikbud akan mendorong pemerintah daerah untuk menerbitkan unit cost pendanaan pendidikan. Menurut Inspektur Suyadi, unit cost diperlukan untuk mengatur besaran biaya pendidikan yang diperlukan di suatu daerah. 
 
“Kita tahu bahwa sumber biaya satuan pendidikan dasar dan menengah itu APBN, APBD, sumbangan dan sumber lain yang sah. UU Nomor 20 tentang Sisdiknas dan PP Nomor 48 tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan jelas mengatur sumber biaya pendidikan,” ujarnya. Kemudian, biaya pendidikan ini mengalami perubahan sesuai tingkat kemahalan di setiap daerah, sehingga diperlukan unit cost dari Pemerintah Daerah. 
 
Menurutnya, penerapan unit cost harus memiliki payung hukumnya untuk menghindari klaim sebagai pungutan liar. “Kalau sekarang kan tidak ada payung hukumnya sehingga diklaim sebagian pihak sebagai pungutan liar,” tegasnya. 
 
Tidak keliru juga karena prosesnya juga keliru mestinya musyawarah untuk mufakat ini mufakat dulu baru musyawarah, celakanya lagi ini dibagi sama rata antara yang kaya dengan yang miskin. Padahal aturannya kan tidak boleh seperti itu. ***
 
 
Manado, 24 Agustus 2017,
 
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 4048 kali