Era Baru Pengelolaan Migas Indonesia 20 Februari 2018 ← Back
Kejayaan industri minyak dan gas (migas) tanah air bukan hanya soal pencapaian puncak produksi migas tertinggi, melainkan juga peningkatan atas manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Berdasar hal tersebut, Kementerian ESDM telah melahirkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% (Sepuluh Persen) Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dimana Pemerintah Daerah akan mendapatkan pembagian saham sebanyak 10%. Dengan harapan, masyarakat daerah potensi migas dapat menikmati hasil yang lebih nyata. Menariknya, investasi 10% partisipasi daerah tersebut dapat ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Ini adalah kemudahan bagi daerah penghasil migas.
Ketidakpastian harga minyak dunia, seringkali menjadi tantangan bagi industri migas. Pemerintah bergerak untuk mencari terobosan baru dengan mendorong praktek-praktek efisiensi. Kini, masa depan bisnis migas dikendalikan oleh efisiensi biaya (cost game).
"Efisiensi dan peningkatan kontribusi menjadi kunci. Saat ini prioritasnya adalah meningkatkan efisiensi melalui pengelolaan yang lebih baik, sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat,” tegas Menteri ESDM Ignasius Jonan pada berbagai kesempatan.
Sejarah baru pengelolaan migas nasional pun ditorehkan. Dalam rangka mendorong efisiensi, awal tahun 2017, sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) Gross Split mulai menggantikan sistem PSC Cost Recovery yang sudah berlangsung sejak tahun 1960an. Salah satu alasannya, skema PSC cost recovery dinilai membebani uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak tahun 2015, untuk pertama kali dalam sejarah, cost revovery lebih besar dari penerimaan migas bagian Pemerintah. Bahkan, pada 2016, cost recovery telah menembus Rp 46,4 triliun sementara penerimaan bagian pemerintah hanya Rp 39,9 triliun.
Perubahan kebijakan ini membuahkan hasil. Terlebih, setelah Pemerintah menggelontorkan beberapa insentif di tengah tantangan harga minyak yang fluktuatif. Ditambah lagi, terbitnya aturan bebas pajak eksplorasi pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang ditetapkan dalam menjamin kemudahan pihak investor berbisnis migas di Indonesia.
Nyatanya di awal tahun 2018 ini, sudah ada 5 pemenang lelang Wilayah Kerja Migas Konvensional Tahun 2017 yang merupakan KKKS besar seperti Mubadala dan Repsol. Total komitmen investasi pertama sebesar USD 23,5 juta dan bonus tanda tangan sebesar USD 3,5 juta. Padahal, selama PSC Cost Recovery di tahun 2015 dan 2016, tak satupun lelang WK Migas yang ditawarkan dilirik para investor.
"Prinsip utama dari skema gross split adalah kepastian, kesederhanaan, dan efisiensi. Gross split akan memberikan kepastian bagi investor, karena parameter dalam pembagian split transparan dan terukur. Parameter ditentukan berdasarkan karakteristik lapangan serta kompleksitas pengembangan dan produksi," ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Selasa (20/2).
Selain efisiensi industri hulu migas, kontribusi terhadap penerimaan negara juga menjadi indikator penting. Setelah penerimaan Negara Tahun 2017 dari sektor migas mencapai Rp 138 triliun atau tembus 117% dari target yang ditetapkan, beberapa tren positif makin banyak bermunculan. Hal ini tidak terepas dari usaha serius Pemerintah dalam upaya menciptakan iklim investasi industri migas yang lebih baik guna mewujudkan Energi Berkeadilan.
Alih kelola Blok Mahakam, Misalnya. Pemerintah menugaskan PT Pertamina Hulu Mahakam mengelola blok bekas olahan Total E&P Indonesie, yang membuat negara memiliki sebagian besar saham dari Wilayah Kerja yang merupakan penghasil gas terbesar di Indonesia. Minimal 61% saham harus dimiliki nasional termasuk 10% kepemilikan daerah.
Kehadiran Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di salah satu wilayah penghasil gas terbesar di Indonesia mengukuhkan kehadiran negara dalam menjalankan amanat konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD 1945) Pasal 33 Ayat 3 dimana Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tidak berhenti disitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga telah menyederhanakan beberapa regulasi yang dianggap sudah tidak sesuai dan berpotensi menghambat invetasi. Sudah ada 11 peraturan sektor migas yang dicabut, 10 peraturan yang disederhanakan menjadi 7 peraturan saja. Belum lagi perizinan sektor migas yang telah disederhanakan menjadi hanya 6 perizinan.
“Karena ini kepentingan bersama, kepentingan bangsa, kepentingan masyarakat, kepentingan nasional supaya investasinya meningkat, dan pertumbuhan ekonominya bisa meningkat, penciptaan lapangan kerjanya juga meningkat, kesejahteraan masyarakat jadi bisa meningkat," ujar Arcandra lagi.
#InvestasiMigasMakinMenarik
Berdasar hal tersebut, Kementerian ESDM telah melahirkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 37 Tahun 2016 tentang Ketentuan Penawaran Participating Interest 10% (Sepuluh Persen) Pada Wilayah Kerja Minyak dan Gas Bumi dimana Pemerintah Daerah akan mendapatkan pembagian saham sebanyak 10%. Dengan harapan, masyarakat daerah potensi migas dapat menikmati hasil yang lebih nyata. Menariknya, investasi 10% partisipasi daerah tersebut dapat ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Ini adalah kemudahan bagi daerah penghasil migas.
Ketidakpastian harga minyak dunia, seringkali menjadi tantangan bagi industri migas. Pemerintah bergerak untuk mencari terobosan baru dengan mendorong praktek-praktek efisiensi. Kini, masa depan bisnis migas dikendalikan oleh efisiensi biaya (cost game).
"Efisiensi dan peningkatan kontribusi menjadi kunci. Saat ini prioritasnya adalah meningkatkan efisiensi melalui pengelolaan yang lebih baik, sehingga memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi seluruh rakyat,” tegas Menteri ESDM Ignasius Jonan pada berbagai kesempatan.
Sejarah baru pengelolaan migas nasional pun ditorehkan. Dalam rangka mendorong efisiensi, awal tahun 2017, sistem Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract/PSC) Gross Split mulai menggantikan sistem PSC Cost Recovery yang sudah berlangsung sejak tahun 1960an. Salah satu alasannya, skema PSC cost recovery dinilai membebani uang rakyat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sejak tahun 2015, untuk pertama kali dalam sejarah, cost revovery lebih besar dari penerimaan migas bagian Pemerintah. Bahkan, pada 2016, cost recovery telah menembus Rp 46,4 triliun sementara penerimaan bagian pemerintah hanya Rp 39,9 triliun.
Perubahan kebijakan ini membuahkan hasil. Terlebih, setelah Pemerintah menggelontorkan beberapa insentif di tengah tantangan harga minyak yang fluktuatif. Ditambah lagi, terbitnya aturan bebas pajak eksplorasi pada Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2017 tentang Perlakuan Perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dengan Kontrak Bagi Hasil Gross Split yang ditetapkan dalam menjamin kemudahan pihak investor berbisnis migas di Indonesia.
Nyatanya di awal tahun 2018 ini, sudah ada 5 pemenang lelang Wilayah Kerja Migas Konvensional Tahun 2017 yang merupakan KKKS besar seperti Mubadala dan Repsol. Total komitmen investasi pertama sebesar USD 23,5 juta dan bonus tanda tangan sebesar USD 3,5 juta. Padahal, selama PSC Cost Recovery di tahun 2015 dan 2016, tak satupun lelang WK Migas yang ditawarkan dilirik para investor.
"Prinsip utama dari skema gross split adalah kepastian, kesederhanaan, dan efisiensi. Gross split akan memberikan kepastian bagi investor, karena parameter dalam pembagian split transparan dan terukur. Parameter ditentukan berdasarkan karakteristik lapangan serta kompleksitas pengembangan dan produksi," ujar Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar, Selasa (20/2).
Selain efisiensi industri hulu migas, kontribusi terhadap penerimaan negara juga menjadi indikator penting. Setelah penerimaan Negara Tahun 2017 dari sektor migas mencapai Rp 138 triliun atau tembus 117% dari target yang ditetapkan, beberapa tren positif makin banyak bermunculan. Hal ini tidak terepas dari usaha serius Pemerintah dalam upaya menciptakan iklim investasi industri migas yang lebih baik guna mewujudkan Energi Berkeadilan.
Alih kelola Blok Mahakam, Misalnya. Pemerintah menugaskan PT Pertamina Hulu Mahakam mengelola blok bekas olahan Total E&P Indonesie, yang membuat negara memiliki sebagian besar saham dari Wilayah Kerja yang merupakan penghasil gas terbesar di Indonesia. Minimal 61% saham harus dimiliki nasional termasuk 10% kepemilikan daerah.
Kehadiran Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di salah satu wilayah penghasil gas terbesar di Indonesia mengukuhkan kehadiran negara dalam menjalankan amanat konstitusi, yaitu Undang-Undang Dasar (UUD 1945) Pasal 33 Ayat 3 dimana Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Tidak berhenti disitu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga telah menyederhanakan beberapa regulasi yang dianggap sudah tidak sesuai dan berpotensi menghambat invetasi. Sudah ada 11 peraturan sektor migas yang dicabut, 10 peraturan yang disederhanakan menjadi 7 peraturan saja. Belum lagi perizinan sektor migas yang telah disederhanakan menjadi hanya 6 perizinan.
“Karena ini kepentingan bersama, kepentingan bangsa, kepentingan masyarakat, kepentingan nasional supaya investasinya meningkat, dan pertumbuhan ekonominya bisa meningkat, penciptaan lapangan kerjanya juga meningkat, kesejahteraan masyarakat jadi bisa meningkat," ujar Arcandra lagi.
#InvestasiMigasMakinMenarik