Konservasi dan Revitalisasi, Komitmen Kemendikbud dalam Pelindungan Bahasa Daerah  14 Agustus 2018  ← Back

 

Jakarta, Kemendikbud --- Indonesia memiliki khazanah bahasa daerah yang beragam dan tersebar dari Sabang sampai Merauke. Berdasarkan data dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Badan Bahasa Kemendikbud), Indonesia memiliki 652 bahasa daerah (data per tahun 2017). Untuk melindungi dan melestarikan bahasa daerah tersebut, Badan Bahasa Kemendikbud memiliki dua program utama, yaitu konservasi dan revitalisasi bahasa.

Konservasi dalam konteks pelindungan bahasa merupakan upaya untuk mempertahankan dan mengembangkan bahasa agar tetap dipergunakan oleh penuturnya. Dalam konservasi, ada upaya pencegahan atau perbaikan aspek bahasa yang rusak untuk menjamin kelangsungan bahasa itu sendiri.

Kepala Bidang Pelindungan, Pusat Pengembangan dan Pelindungan Badan Bahasa, Ganjar Harimansyah mengatakan, Kemendikbud memiliki komitmen yang kuat untuk melindungi dan melestarikan bahasa dan sastra daerah melalui konservasi dan revitalisasi.

“Untuk konservasi, kita menekankan kepada bahasa-bahasa yang masih bisa diselamatkan, masih bisa kita dokumentasikan, masih bisa kita kembangkan. Kalau revitalisasi lebih cenderung kepada aspek pemelihaaran dan menghidupkan kembali bahasa dan sastra di kalangan generasi muda sebagai penerusnya,” kata Ganjar dalam kegiatan diskusi dengan media di Jakarta, Senin (13/8/2018).

Ia menuturkan, sebelum melakukan konservasi dan revitalisasi terhadap suatu bahasa, Badan Bahasa Kemendikbud akan mengkaji vitalitas atau daya hidup bahasa dari bahasa daerah tersebut. Kajian vitalitas akan melakukan pengukuran untuk mengetahui status bahasa, misalnya terancam punah, kritis, stabil, atau stabil tapi terancam punah. Hasil kajian juga berupa rekomendasi langkah yang tepat untuk pelindungan bahasa berdasarkan daerah penuturnya.

“Misalnya untuk status stabil tapi terancam punah, implikasinya bisa berbeda-beda di tiap daerah,” ujar Ganjar yang memegang gelar doktor di bidang bahasa itu.

Ia mencontohkan upaya pelindungan bahasa Rote di Nusa Tenggara Timur (NTT), yang statusnya stabil tapi terancam punah. Setelah dilakukan kajian vitalitas bahasa, ditemukan bahwa dokumentasi bahasa Rote masih ada, tetapi kebijakan pemerintah daerahnya kurang mendukung. Padahal pemda bisa menerapkan kebijakan pembelajaran secara umum melalui muatan lokal di sekolah-sekolah, karena semua penduduknya bisa berbahasa Rote.

“Akhirnya kita dekati pemerintah daerah. Kita susunkan sistem kebahasaan yang baku. Setelah sistem kebahasaannya sudah lengkap, baru kita laksanakan revitalisasi,” kata Ganjar.

Langkah yang berbeda diterapkan untuk revitalisasi bahasa Hitu di Maluku Tengah, meski berstatus sama, yakni stabil tapi terancam punah. Penerapan kebijakan memasukkan bahasa Hitu ke muatan lokal di sekolah-sekolah tidak bisa dilakukan karena hanya beberapa sekolah negeri yang menggunakan bahasa Hitu. Jika Pemda Maluku menjadikan bahasa Hitu sebagai muatan lokal, maka bahasa lain juga harus dibuatkan muatan lokalnya.

“Jadi kami melakukan revitalisasi dengan berbasis komunitas di sembilan sekolah negeri. Di Hitu juga  kita susunkan sistem kebahasaannya (upaya konservasi) di samping revitalisasi. Jadi Indonesia itu unik dengan keragaman bahasa, situasi daerah, etnologi sosialnya, sehingga penanganannya berbeda-beda,” ujar Ganjar.

Upaya pelindungan bahasa memang usaha yang hasilnya tidak nyata secara materi-ekonomis, tapi ini adalah perjuangan untuk memberikan sumbangan signifikan untuk melindungi dan mengelola kekayaan batin bangsa. Kepunahan sebuah bahasa bukan sekadar kepunahan kosakata atau tata bahasa, melainkan kehilangan warisan budaya bangsa yang sangat berharga. Pelindungan bahasa daerah bukan hanya menjadi tanggung jawab oemerintah, melanikan juga masyarakat pemilik bahasa dan sastra itu sendiri. (Desliana Maulipaksi)


Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 4315 kali