Mendikbud: Bangun Rasa Percaya Diri Anak Melalui Pendidikan Keluarga  27 November 2018  ← Back

Jakarta, Kemendikbud --- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy mengatakan, pembentukan karakter anak untuk kepercayaan diri dimulai dari pendidikan keluarga.  “Kita punya problem sebetulnya untuk di Indonesia ini, karena pembentukan karakter percaya dirinya kurang, jadi banyak tradisi yang kita warisi itu membuat kita menjadi kurang percaya diri," ungkap Mendikbud saat memberikan arahan kepada kontingen Indonesia untuk World Skills Asia 2018 di Kantor Kemendikbud, Jakarta, Jumat (23/11/2018).

Menurut Mendikbud Muhadjir Effendy banyak tradisi budaya dalam keluarga yang justru berperan menumbuhkan rasa tidak percaya diri dalam diri sang anak. Mendikbud mengaku, hal tersebut pernah dialaminya saat kecil. “Misalnya ada tamu saya ikut nimbrung gitu, ketika tamunya pulang saya dicubit oleh ibu saya karena tidak sopan. Kemudian makan juga gitu, kalau diajak pergi makanan saya habis, itu enggak boleh, kata ibu saya itu tidak menunjukkan bentuk ke-perwiraan. Jadi, harus disisakan sedikit. Hal-hal seperti ini sangat terkontrol yang menurut saja kadang-kadang membuat kita jadi kurang percaya diri," tuturnya.

Oleh karena itu Mendikbud selalu menekankan ada 5C yang harus dibangun untuk membentuk karakter anak bangsa, yakni Critical Thinking, Creativity and Innovation, Communication Skill, Collaboration dan Confidence.

"Confidence ini tidak kalah penting dari 4C yang ada," ungkapnya. Karena confidence inilah yang kemudian menumbuhkan yang namanya self efficacy atau afikasi. Self efficacy akan mendorong orang untuk bisa bekerja keras, jadi orang mampu belum merasa dirinya mampu. Dan rasa mampu ini penting itu namanya self efficacy,” kata Mendikbud. Menurutnya, banyak orang yang mampu tapi tidak percaya diri bahwa ia mampu. “Lebih baik percaya diri mampu walaupun sebenernya tidak mampu, daripada sebetulnya mampu tapi kita tidak percaya kalau kita mampu,” katanya.

Mendikbud menuturkan, menurut beberapa riset, self efficacy pada siswa kurang. Jadi sebetulnya mereka mampu, tapi tidak merasa bisa. Karena tidak merasa bisa, kemudian tersugesti tidak ada keberanian untuk melakukan. "Jadi antara kemampuan dan perasaan mampu itu harus sinkron," kata Mendikbud. (Bianca Christy/Desliana Maulipaksi)


Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 3442 kali