Hasil PISA Indonesia 2018: Akses Makin Meluas, Saatnya Tingkatkan Kualitas  04 Desember 2019  ← Back

Jakarta, Kemendikbud --- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa hasil studi Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dirilis serentak pada hari Selasa, 3 Desember 2019, merupakan perspektif yang bagus bagi pemajuan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui perspektif yang berbeda, Indonesia diajak untuk melihat bagaimana orang lain, negara lain melihat sistem pendidikan di Indonesia, sekaligus memberi masukan obyektif tentang perbaikan yang perlu dilakukan ke depan.

“Perspektif itu penting, karena menjadi insight baru dan angle untuk mengukur kita dan menunjukkan hal yang tidak kita sadari. Kunci kesuksesan belajar adalah mendapat sebanyak mungkin perspektif. Kita tidak bisa mengetahui apa yang mesti kita perbaiki jika kita tidak punya perspektif,” disampaikan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim pada Rilis Hasil Studi PISA Indonesia Tahun 2018, di kantor Kemendikbud, Jakarta, Selasa (3/12/2019).

Dari perspektif itulah, Pemerintah memformulasikan langkah strategis. Utamanya dalam upaya mewujudkan pemerataan pendidikan.

Mendikbud menyoroti berkumpulnya sumber daya, khususnya guru-guru yang bagus di sekolah tertentu. Selain itu, siswa di sekolah tersebut berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi yang bagus juga.

"PR kita adalah pemerataan jumlah guru, mutu guru, dan resources," ucap Nadiem Anwar Makarim.

Namun, Mendikbud yakin perubahan kecil yang dilakukan oleh segenap pemangku pendidikan dapat memberikan perbaikan yang berarti untuk pendidikan nasional. "Hal kecil, mudah, dan bisa segera dilakukan. Mulai dari cara sederhana, sebuah gerakan yang berasal dari seluruh elemen masyarakat," kata Nadiem Anwar Makarim.

Upaya Pemerintah untuk meningkatkan akses terhadap pendidikan diapresiasi oleh Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) selaku penyelenggara PISA. Hal ini terlihat dari peningkatan persentase penduduk yang bersekolah dalam laporan studi yang disampaikan oleh Yuri Belfali, Head of The Early Childhood and School Division, Directorate of Education and Skill, OECD.

Pada tahun 2000, hanya 39 persen penduduk usia 15 tahun yang bersekolah pada jenjang SMP atau SMA. Sementara, pada tahun 2018, angka tersebut meningkat menjadi 85 persen. Sebelumnya di tahun 2003 sampelnya mencakup 46 persen saja.

“Untuk negara sebesar Indonesia, capaian kita selama 15 tahun terakhir ini dalam akses pendidikan luar biasa,” kata Mendikbud mengapresiasi.

Sebelumnya, senada dengan Mendikbud, Yuri Belfali mengatakan Indonesia telah melakukan extra effort,tidak hanya untuk memberikan akses layanan pendidikan kepada lebih banyak anak-anak, sekaligus tetap mempertahankan kualitas pendidikan.

Namun, dalam laporannya, Yuri juga menyampaikan beberapa catatan terkait kemampuan membaca siswa Indonesia. Disebutkan, siswa Indonesia bagus di dalam pemahaman untuk single text tetapi lemah di dalam memahami multiple text. “Siswa Indonesia pandai dalam mencari informasi, mengevaluasi, dan merefleksi informasi, tetapi lemah dalam memahami informasi,” lanjut Yuri.

Hasil studi PISA 2018 yang dirilis oleh OECD menunjukkan bahwa kemampuan siswa Indonesia dalam membaca, meraih skor rata-rata yakni 371, dengan rata-rata skor OECD yakni 487.

Kemudian untuk skor rata-rata matematika mencapai 379 dengan skor rata-rata OECD 487. Selanjutnya untuk sains, skor rata-rata siswa Indonesia mencapai 389 dengan skor rata-rata OECD yakni 489.

Beberapa temuan menarik yang disampaikan Yuri saat memaparkan capaian PISA 2018, di antaranya adalah bahwa Indonesia berada pada kuadran low performance dengan high equity. Kemudian, ditemukan juga bahwa gender gap in performance ketimpangan performa belajar antara perempuan dan laki-laki tidak besar. Siswa perempuan lebih baik dari siswa laki-laki dalam semua bidang di PISA.

Yuri juga menyampaikan bahwa guru-guru di Indonesia tergolong memiliki antusiasme yang tinggi. Antusiasme para guru Indonesia termasuk empat tertinggi setelah Albani, Kosovo, dan Korea. Namun, kebanyakan guru masih belum memahami kebutuhan setiap individu muridnya.

Belajar dari hasil studi PISA

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyampaikan bahwa yang terpenting dari hasil studi PISA adalah langkah-langkah strategis yang dilakukan untuk menindaklanjuti hasil studi tersebut.

"Berita tidak positif seperti penurunan skor reading tidak perlu dikesampingkan, tidak perlu dikemas menjadi berita positif. PISA merupakan konfirmasi dari masalah literasi
yang sebenarnya kita semua sudah ketahui bersama," kata Nadiem.

Sementara itu, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Totok Suprayitno menjelaskan bahwa pelaksanaan studi PISA tahun 2018 diikuti 399 satuan pendidikan dengan 12.098 peserta didik. Pada tahun 2018 Indonesia pertama kali mengikuti studi PISA berbasis komputer.

Kabalitbang menegaskan bahwa hasil PISA tidak hanya sekadar skor dan ranking. Hasil studi PISA menjabarkan perilaku anak, kondisi belajar anak, latar belakang anak, cara mengajar guru, dan seterusnya.

Totok mengapreasiasi hasil studi PISA yang menunjukkan fakta bahwa siswa kurang beruntung secara ekonomi di Indonesia tetap bisa berprestasi.

"Sistem pendidikan Indonesia memberikan kesempatan yang sama untuk meraih prestasi kepada siswa dengan latarbelakang sosial ekonomi keluarga kurang menguntungkan," terang Kabalitbang.

Di sisi lain, Pemerintah tetap berkomitmen untuk mengatasi kelemahan yang menjadi temuan PISA. Maka, salah satu rekomendasi yang diberikan adalah pengoptimalan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) perlu dimanfaatkan untuk pembelajaran yang lebih efektif.

"Siswa dengan latarbelakang sosial ekonomi yang sama memiliki skor membaca 40 poin lebih tinggi ketika diajar oleh guru yang memanfaatkan TIK. Hal ini menunjukkan memiliki infrastruktur TIK tidak cukup, gunakanlah dalam pembelajaran," jelas Totok Suprayitno.

Kemudian, menjawab tantangan untuk meningkatkan literasi, ia meminta agar sekolah lebih melibatkan siswa dalam membaca, memastikan rangkuman siswa benar-benar disampaikan dengan kata-kata sendiri tidak sekedar menyalin isi bacaan, memperkaya jenis bacaan, serta mendorong siswa untuk melakukan aktivitas membaca sebagai hiburan di waktu luang.

“Kita perlu mengubah kultur belajar kita tanpa harus menunggu instruksi atau proyek. Kultur belajar adalah habbit yang bisa dilakukan sejak besok,” tegas Totok.

Beberapa temuan yang bisa ditindaklanjuti oleh guru dan orang tua untuk meningkatkan kemampuan membaca salah satunya adalah siswa yang dilibatkan oleh guru dalam pelajaran membaca memiliki skor membaca 30 poin lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang tidak pernah atau jarang terlibat. "Siswa yang menghabiskan lebih banyak waktu dalam seminggu untuk membaca sebagai hiburan di waktu luangnya, capaian skornya lebih tinggi 50 poin," kata Totok.

Kemudian, lanjut Kabalitbang, hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa di antaranya adalah membiasakan siswa dengan jenis dan format bacaan yang beragam. Kemudian melatih siswa untuk berkonsentrasi pada isi bacaan, menandai atau merangkum dengan kata-kata juga sendiri terbukti efektif untuk memahami isi bacaan.

"Aktivitas merangkum yang efektif dalam menumbuhkan kemampuan membaca adalah yang mampu menangkap hal-hal yang penting dan menuliskannya kembali dengan kreativitas sendiri," pesan Totok. (*)







Jakarta, 3 Desember 2019
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: fb.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI

#MerdekaBelajar
#SDMUnggul
#IndonesiaMaju
Sumber : SIARAN PERS Nomor: 397/Sipres/A5.3/XII/2019

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 128092 kali