UNESCO Tetapkan Pencak Silat Sebagai Warisan Budaya Takbenda  15 Desember 2019  ← Back

Jakarta, Kemendikbud —- Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar Farid mengapresiasi berbagai pihak yang telah memperjuangkan tradisi pencak silat masuk ke dalam Daftar Representatif Warisan Budaya Takbenda untuk Kemanusiaan oleh United Nations of Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO).

"Prosesnya panjang, 2017 secara formal Kemendikbud membawa usulan masyarakat kepada UNESCO agar pencak silat dimasukkan dalam daftar representatif warisan budaya takbenda untuk kemanusiaan," katanya saat memberikan keterangan pers dalam taklimat media di kantor Kemendikbud, Jakarta (13/12/2019).

“Pengusulan (tradisi) pencak silat untuk dimasukkan ke dalam representative list UNESCO dimulai dari inisiatif komunitas yang terdiri atas Masyarakat Pencak Silat Indonesia (MASPI), perwakilan perguruan dari Sumatera Barat, Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, dengan dukungan penuh dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.” tutur Arief Rachman, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Hilmar Farid menekankan bahwa selanjutnya yang lebih penting adalah bagaimana masyarakat melestarikan tradisi pencak silat, karena UNESCO akan memantau hal tersebut secara berkelanjutan. "UNESCO akan melihat tradisi ini berkembang atau tidak. Itulah yang dinilai dari waktu ke waktu, sejauh mana masyarakat itu masih menghidupkan praktek kebudayaan itu," tegasnya.

Arief Rachman mengatakan, pengakuan tradisi pencak silat di mata dunia sudah semestinya menjadi momentum untuk melindungi, mempromosikan, dan mengedukasi generasi penerus bangsa sebagai kontribusi bagi peradaban dunia.

Pencapaian tradisi pencak silat di pentas dunia, kata Hilmar, sangat penting karena pencak silat dinilai telah berkontribusi dalam peradaban dunia. “Setelah penetapan ini kita mendapat tugas besar untuk melestarikan tradisi pencak silat ini. Banyak hal yang perlu kita lakukan untuk melindungi, mengembangkan dan memanfaatkan tradisi ini untuk kepentingan pendidikan, penguatan jati diri dan juga untuk memperkuat kehadiran Indonesia di dunia internasional,” ujar Hilmar Farid.

Capaian ini diharapkan menjadi manfaat bagi bangsa Indonesia untuk lebih mempopulerkan tradisi pencak silat melalui tarian dan film. "Pencak itu kan sangat menarik perhatian, banyak pesilat yang kita kirim ke luar negeri. Banyak film yang saat ini koreografinya silat. Semoga semakin banyak pesilat yang bisa berkontribusi membawa budaya Indonesia ke luar negeri karena dengan pencapaian ini, publik di luar juga makin mengenal tradisi pencak silat".

Sebelumnya, dukungan terhadap pelestarian tradisi pencak silat sudah dilakukan. "Kita membantu pesilat kita untuk berkesempatan tampil di luar negeri. Selain itu, kita telah menyelenggarakan Festival Silat, tahun depan untuk yang ketiga kalinya, dengan begitu jelas akan meningkatkan semangat teman-teman di daerah karena melibatkan pemerintah daerah juga."

Sebagai upaya pelestarian, Pendiri Masyarakat Pencak Silat Indonesia (MPSI) Wahdat Mardi Yuana mengungkapkan, pihaknya sudah mengadakan temu pendekar, workshop dan temu tokoh. "Kami pun mulai rajin mendokumentasikan. Pencatatan dan pengkajian, kita upayakan teman-teman silat kita lebih cerdas dalam hal ini. Tahun depan ada 12 pertemuan yang melibatkan lebih dari 40 aliran di Indonesia," kata Wahdat yang optimis pencak silat akan masuk sebagai salah satu cabang dalam Olimpiade tahun 2032.

Arief Rachman mendukung upaya MPSI dalam melestarikan tradisi pencak silat. Ia berharap adanya upaya yang jauh lebih luas dan masif sehingga tradisi ini makin dikenal dan dinikmati oleh makin banyak masyarakat dunia. "Dokumentasi jangan hanya mengumpulkan data tentang pencak silat tapi juga melakukan kajian ilmiah yang selanjutnya diterjemahkan dalam beragam bahasa," tekan Arief Rahman di hadapan media massa.

Selain itu, Wahdat mengungkapkan harapannya supaya pemerintahan dapat membantu memposisikan tradisi pencak silat pada level pemanfaatan dan pelestarian yang lebih besar. "Jika pemerintah sudah menginstruksikan pada satu instansi misalnya untuk menerapkan pencak silat maka dampak pelestarian atas tradisi ini terasa lebih signifikan. Tidak perlu muatan lokal, bahkan itu sudah menjadi muatan wajib."

Sidang ke-14 Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO di Bogota, Kolombia, pada Kamis, 12 Desember 2019 telah menetapkan usulan Indonesia yaitu tradisi pencak silat (traditions of pencak silat) ke dalam Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity, UNESCO.

Sidang Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO dihadiri delegasi Indonesia yang terdiri atas Deputi Wakil Tetap RI untuk UNESCO, Surya Putra Rosa, sebagai ketua; Duta Besar Indonesia untuk Kolombia, Priyo Iswanto; Direktur Warisan dan Diplomasi Budaya, Nadjamuddin Ramly; Gubernur Sumatera Barat, Irwan Prayitno, dan; sejumlah staf dari Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Secara luas Pencak Silat dikenal sebagai jenis seni bela diri yang diwariskan dari generasi ke generasi di Indonesia. Istilah pencak silat adalah penggabungan dua kata, yakni pencak dan silat. Jika istilah pencak lebih dikenal di Jawa maka istilah silat lebih dikenal di Sumatera Barat. Sekalipun mirip dalam pemikiran dan prakteknya, masing-masing memiliki kekhasan dari segi gerak, musik pengiring, dan peralatan pendukung.

Perbedaan Silat dan Tradisi Pencak Silat

Secara filosofis, tradisi pencak silat menonjolkan gerak dan bunyi. Secara turun-temurun, masyarakat selama masa itu membentuk cara pengendalian diri melalui tradisi pencak silat.

Hilmar Farid menjelaskan, terdapat perbedaan yang signifikan antara silat yang diusulkan Malaysia dan tradisi pencak silat Indonesia. "Silat di Malaysia adalah seni bela diri yang arahnya lebih kepada olahraga. Tradisi pencak silat yang kita usulkan lebih fokus kepada filosofi sehingga menurut kita sangat erat kaitannya dengan deskripsi warisan budaya tak benda UNESCO untuk kemanusiaan."

Menjawab keterkaitan antara tradisi pencak silat dengan kemanusiaan, Hilmar Farid menjelaskan, landasan adanya Konvensi UNESCO tahun 2003 berfokus pada warisan budaya intangible. Dalam hal ini UNESCO melihat praktek-praktek yang ada di masyarakat yang bisa berkontribusi terhadap kemanusiaan. "Warisan budaya jumlahnya banyak sekali, sementara yang menyumbang pada perdamaian, stabilitas, pembangunan, dan kemanusiaan itu -selected_ (terbatas). Makanya namanya representative list yaitu daftar berbagai macam praktek terpilih yang tujuannya untuk kemanusiaan.

"Intagibel culture of heritage dalam perspektifnya UNESCO (adalah tradisi) milik masyarakat, bukan milik negara. Mereka tidak melihat negara ini sebagai pemilik eksklusif dari budayanya, tapi warisan budaya takbenda itu miliknya masyarakat."

"Masyarakat kita kan mobile, 100 tahun yang lalu masyarakat berpindah, dibawa juga kebudayaannya ke sana sehingga di daerah lain juga tumbuh. Negara ini (Indonesia) menjadi fasilitator yang mengantar usulan masyarakat itu ke sidangnya UNESCO," lanjutnya.

Merujuk pada laporan Surya Rosa Putra dari Kolombia bahwa Komite Warisan Budaya Takbenda UNESCO dalam sidang menyampaikan apresiasinya terhadap maraknya kegiatan berupa festival yang tidak hanya merupakan bentuk pelestarian tapi lebih jauh mendorong persaudaraan lintas wilayah di antara komunitas pencak silat di Indonesia dan di dunia internasional.

Dengan ditetapkannya tradisi pencak silat, maka Indonesia telah memiliki sembilan elemen budaya dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Delapan elemen yang telah terdaftar sebelumnya adalah Wayang (2008); Keris (2008); Batik (2009); Angklung (2010); Tari Saman (2011); Noken Papua (2012); Tiga Genre Tari Tradisional di Bali (2015); Pinisi, seni pembuatan perahu dari Sulawesi Selatan (2017); ditambah satu program terbaik yaitu Pendidikan dan Pelatihan Batik di Museum Batik Pekalongan (2009).

Tradisi Pencak Silat Menguatkan Pendidikan Karakter Indonesia

Dalam kesempatan yang berbeda, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim bangga atas masuknya tradisi pencak silat sebagai warisan budaya takbenda bidang kemanusiaan versi UNESCO. “Dimasukkannya pencak silat dalam representative list UNESCO tentu adalah kebanggaan bagi kita semua. Perjuangan yang panjang akhirnya membuahkan hasil.”

Menurutnya, ada empat aspek pencak silat, yakni mental-spiritual, pertahanan diri, seni, dan olahraga, yang membuatnya tercatat sebagai salah satu warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) masyarakat Indonesia. “Pencak Silat adalah warisan budaya masyarakat Indonesia yang masih terus hidup sampai sekarang dan sangat bernilai dalam pembentukan jati diri dan karakter di Indonesia,” ujarnya.

Dirjen Hilmar menyampaikan betapa tradisi pencak silat mampu menguatkan karakter berbudaya di Indonesia karena disinilah generasi muda diajarkan mengendalikan diri, tubuh, dan emosi. Terbukti dengan banyak sekolah yang sudah menjadikan Pencak sebagai ekstrakurikuler.

"Jika anak-anak mendapat pelatihan yang baik, maka dimensi saling memahami dan toleransi akan terbangun. Kita lihat bahwa di perguruan pencak silat, pengendalian diri itu sangat ditekankan. Bahwa kamu punya kekuatan hebat secara fisik justru harus membuat kamu semakin merendah. Nilai inilah yang berkontribusi besar dalam ketahanan budaya," terang Hilmar.

Menurut Hilmar, pencak silat adalah suatu tradisi yang membuat orang dan masyarakat bisa mengendalikan segala macam impuls (rangsangan) dan mengarahkannya menjadi energi positif. "Kalau itu dilakukan kita akan memiliki kehidupan sosial yang penuh kerukunan dan solidaritas. Tradisi pencak silat dianggap bisa berkontribusi terhadap bidang kemanusiaan tersebut," ujar Hilmar.

Kemendikbud sebagai institusi Pemerintah yang menaungi pemberdayaan tradisi, mempunyai tugas penting untuk mengintegrasikan pencak silat dalam pendidikan karakter. Sebagai langkah awal, Kemendikbud akan menyelenggarakan pertemuan dengan semua komunitas pencak silat dan Kementerian Pemuda dan Olahraga supaya amanah pelestarian tradisi ini dapat berjalan dengan baik.
"Sekolah sudah banyak yang menjadikan (tradisi) pencak silat sebagai ekstrakurikuler. Kita bisa angkat jadi bagian atau komponen pendidikan karakter. Mudah-mudahan kita bisa mengintegrasikannya ke dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK)," harapnya.

Di akhir taklimat media, Arief Rachman menekankan besarnya kontribusi nilai tradisi pencak silat bagi kerukunan sosial bermasyarakat. Tidak hanya menjadi bagian dari kehidupan masyarakat, ia merupakan identitas dari komunitas itu sendiri. "Jangan lupa tradisi keterampilan dan adat istiadat ini perlu diwariskan," tutupnya. (*)





Jakarta, 14 Desember 2019
Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Laman: www.kemdikbud.go.id
Sumber : Siaran Pers Nomor: 415/A5.3/XII/2019

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 7523 kali