Kisah Guru Penggerak: Mendorong Siswa Belajar dengan Memahami Kondisi Sosial Ekonomi  07 Juli 2020  ← Back



Jakarta, Kemendikbud --- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makariem, antusias saat berbincang dengan dua kepala sekolah penggerak dalam Acara Peluncuran Merdeka Belajar Episode Lima: Guru Penggerak melalui telekonferensi di Jakarta (3/7/2020). Pada kesempatan ini, Mendikbud memberi kesempatan kepada Nyoman Darta, Kepala Sekolah SMAN 1 Mandara, Bali, untuk menguraikan praktik baik sekolah penggerak yang ia pimpin. Pada sesi tersebut, Nyoman bercerita bahwa tantangan terbesar yang ia hadapi adalah latar belakang sosial ekonomi calon peserta didiknya.

Banyak dari mereka memiliki masalah keluarga yang kompleks sehingga mereka tumbuh dengan rasa percaya diri yang rendah. Kemiskinan, gizi buruk, dan sarana belajar yang minim adalah masalah-masalah yang dihadapi siswanya. Namun Nyoman optimistis, dengan ketulusan, keikhlasan dan kasih sayang siswa didikannya bisa meraih kesuksesan. “Di sinilah saya membutuhkan guru-guru yang mau mengajar dengan ketulusan yang bisa menyentuh hati anak-anaknya. Jika hatinya (siswa) sudah disentuh maka mereka akan dengan senang hati mengikuti pembelajaran di kelas, di luar kelas maupun di manapun mereka belajar,” ucapnya.

Nyoman menjelaskan bahwa melalui Program The Calling, ia mengajak seluruh siswa untuk menulis mimpi mereka pada secarik kertas yang selanjutnya dimasukkan ke dalam botol. Time capsule namanya. Botol itu kemudian ditaruh di dalam kotak yang disebut The Calling Cest. “Mimpi itulah yang mereka selalu ingat untuk dikejar selama dua, tiga bahkan empat tahun karena kami menggunakan sistem kredit semester. Kami ingin membantu menyukseskan mimpi mereka dan saya harus bisa meyakinkan mereka bahwa seluruh hambatan bisa dipecahkan,” terangnya.

Dalam menghadapi tantangan, masing-masing siswa diberi triplek untuk menulis seluruh kelemahan mereka. Selanjutnya semua siswa membakar triplek itu dalam api unggun. “Filosofinya adalah semua hambatan mereka sudah dimusnahkan dan mereka membacakan Ikrar Api. Ikrarnya adalah api di dalam dada mereka harus tetap hidup meskipun mereka berasal dari keluarga miskin. Mereka harus yakin bahwa kelemahan mereka bukan penghalang kesuksesan. Jika ada api yang redup di antara mereka maka teman yang lain harus memiliki kepedulian untuk berempati dan membantu menguatkan satu sama lain,” kata Nyoman. 

Mendapati kondisi peserta didiknya, Nyoman beserta jajarannya merancang metode kurikulum yang sesuai dan berkesinambungan. “Kami buat program kurikulum yang melatih mereka perkalian sederhana, hitung bagi, jepit, pecahan, bahasa Inggris dasar, dan komputer kami latih. Sebelumnya kami hilangkan stres mereka dengan Program Consciousness Base Education yaitu pendidikan yang berbasis kesadaran,” kata dia.

“Kami ajak anak-anak duduk hening di pagi dan sore hari selama 15 menit. Terbukti kegiatan ini dapat menurunkan stres, meingkatkan daya ingat dan toleransi. Tiga bulan ke depan kami berjuang bagaimana mereka punya mimpi dan membangun kesadaran mereka sebelum masuk ke pembelajaran. Kami yakin, anak-anak bisa hidup dengan potensi mereka masing-masing asalkan kami berhasil mengidentifikasi dan mengembangkan keunikan-keunikan mereka,” ucapnya yakin.

Upaya yang dilakukan Nyoman tidak tanggung-tanggung, pihaknya turut memfasilitasi peserta didik agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Nyoman dan guru-gurunya melayani para siswa dari pukul 04.45-22.00 dengan baik di sekolah. Tim sekolah juga memfasilitasi untuk mencarikan akses ke perguruan tinggi yang baik di tingkat nasional maupun luar negeri. "Mereka harus dapatkan biaya pendidikan dan biaya hidup. Anak-anak banyak yang meneruskan sekolah ke ITB, UI, dan universitas lainnya bahkan hingga ke Amerika, Australia, India, Taiwan, dan Jepang. Harapan kami dari hal kecil ini kami bisa memperbaiki nasib mereka, memutar perekonomian keluarganya sehinga mereka bisa memberi manfaat bagi sekitar,” harap Nyoman.

“Luar biasa. Saya merinding mendengarnya.” Itulah kalimat yang terlontar dari Mendikbud usai Nyoman menjabarkan konsep pembelajaran di sekolahnya. Lebih lanjut Menteri Nadiem menyampaikan, perubahan tidak mungkin terjadi jika guru maupun pimpinan unit pendidikan tidak percaya terhadap potensi setiap anak. Jika guru sudah menyerah, maka siswa tidak akan bisa melakukan lompatan besar dalam pembelajarannya.

Mendikbud mengatakan, sekolah harus menciptakan lingkungan yang bisa melepaskan potensi peserta didik. Sekolah juga harus memiliki keyakinan bahwa seorang anak punya potensi dan tinggal dikeluarkan saja. "Ikuti kemampuan masing-masing anak, itu terbukti bisa mengembangkan potensi mereka,” imbuhnya.

Mendikbud optimistis, jika guru berhasil menyalakan ‘obor’ keyakinan dalam diri peserta didik maka secara otomatis dia akan mampu mengakselerasi kemajuannya sendiri. “Dia akan menyerap ilmu, akan mencari ilmu karena dia yakin dia bisa. Bukan hanya Pak Darta dan Bu An saja, tapi di Indonesia jika banyak yang bisa menyalakan obor pendidikan kita maka kita akan temukan pendidikan kita yang memerdekakan,” tutupnya. (Denty A./Aline)
Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 4737 kali