Cara Puspeka Kemendikbud Kurangi Tingkat Kekerasan Berbasis Gender 24 November 2020 ← Back
Jakarta, Kemendikbud – Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menjadi unit kerja yang bertugas memastikan penguatan karakter terjadi di sektor pendidikan. Salah satunya adalah dengan menggelar webinar “Anti Kekerasan Berbasis Gender” yang digagas sebagai upaya menyukseskan Gerakan Nasional Revolusi Mental.
Kepala Puspeka Kemendikbud, Hendarman mengatakan pihaknya terus mencari cara dan strategi bagaimana mengatasi empat isu kritis pendidikan yaitu intoleransi, perundungan, kekerasan seksual dan narkoba. “Harus ada keberanian, tidak boleh membiarkan kekerasan itu berlanjut, di lingkungan kita, termasuk juga di dalam rumah kita,” katanya saat menyebutkan cara termudah dalam memberantas tindak kekerasan, di Jakarta, pekan lalu.
Pada webinar yang ke-15 ini, Puspeka mengajak masyarakat mendiskusikan berbagai cara mencegah kekerasan berbasis gender dari lingkungan rumah, satuan pendidikan, dan masyarakat. Selain itu, webinar kali ini juga membahas bentuk dan dampak kekerasan berbasis gender pada seseorang. Dalam kesempatan tersebut, peserta diimbau membantu korban kekerasan dan turut memberi pemahaman bahwa setiap orang berhak memaksimalkan potensi dirinya dalam mewujudkan sumber daya manusia Indonesia yang unggul, cerdas dan berkarakter terlepas dari apapun gendernya.
Kegiatan ini menghadirkan tiga narasumber di antaranya adalah Maria Ulfah (Komisioner Komnas Perempuan), Indra Brasco (public figure, ayah empat anak) dan Gisella Tani Pratiwi (Psikolog Anak Yayasan Pulih). Narasumber pertama yaitu Maria Ulfah menjelaskan pengertian dan ruang lingkup kekerasan terhadap perempuan.
Menurut Maria, salah satunya kekerasan terhadap perempuan terjadi secara sistemik, dalam berbagai tingkatan lingkungan kehidupan manusia, di tingkat mikro, meso dan makro bahkan di tingkat global. Dalam pemaparannya, ia mengatakan bahwa akar kekerasan terhadap perempuan terjadi dari relasi kuasa dan ideologi patriarki.
“Relasi kekuasaan hubungan antara perempuan dan laki-laki yang timpang berlangsung di rumah, di lingkungan kerja, maupun dalam masyarakat pada umumnya, menyebabkan diskriminasi dan terjadi berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan,” lanjut Maria.
Dengan demikian, Maria merekomendasikan supaya pencegahan dan penghentian kekerasan terhadap perempuan berjalan secara sistemik, integratif dan multisector. Dengan cara sebagai berikut: 1). penguatan agensi semua anak dilibatkan dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan, 2). meningkatkan akses dan kualitas layanan perlindungan anak khususnya anak perempuan.
3). meningkatan peran orang tua, keluarga, guru dan anggota masyarakat untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan, 4). menguatkan kerangka hukum, kebijakan dan peraturan, serta 5). menguatkan koordinasi dan sinergi lintas kementerian lembaga dan daerah, sampai aparat pemerintah yang ruang lingkupnya kecil.
Indra Brasco sebagai narasumber kedua mengatakan, kehadiran orang tua secara lahir dan batin, penting dalam menunjang tumbuh kembang anak. Menyikapi karakteristik perbedaan masing-masing anaknya, Indra mengatakan bahwa ia harus terus meng-upgrade pola asuh. “Bukan hanya kita harus copy paste dengan apa yang sudah dilakukan sebelumnya, karena setiap anak mempunyai karakter yang berbeda, mempunyai keunikan masing-masing,” ungkapnya.
Ada salah satu tips di keluarga Indra untuk mencegah anak dari kekerasan berbasis gender yaitu indra selalu meminta izin kepada anaknya apabila akan membuka baju untuk memandikan anak mulai anak usia dini. Hal itu secara tidak langsung mengajarkan kepada anak-anak untuk menghargai diri sendiri. Selain itu, Indra juga memberitahu anak-anaknya siapa aja yang boleh membuka baju, menggantikan baju, memandikan dan atau menyentuh mereka. “Penting adanya kerja sama dengan guru dalam hal pengawasan anak,” tambahnya yang selalu mengingatkan beberapa bagian tubuh yang memang mereka harus dijaga.
Selanjutnya, psikolog Gisella Tani Pratiwi, mengawali paparannya menunjukan presentase jumlah kasus kekerasan anak di Indonesia yang memperihatinkan. Menurutnya, 50% anak menjadi korban pem-bully-an di sekolah.
“Kalau berbicara tentang kasus kita perlu menyadari bahwa kasus yang ada adalah seperti fenomena gunung es, yang kita ketahui hanya puncaknya saja, apa yang terlihat, apa yang dilaporkan, apa yang dilayani oleh lembaga layanan ataupun lembaga hukum (hanya sedikit). Saya yakin masih banyak kasus lain yang belum terungkap karena berbagai macam hal,” ungkapnya menggambarkan kasus kekerasan seksual pada anak.
Ella sapaan akrab Gisella juga menjelaskan mengapa anak rentan menjadi korban, di antaranya adalah karena anak masih berpikir sederhana dan terbatas. “Banyak yang menganggap anak sebagai objek/hak milik, jadi sering diabaikan suaranya, pemenuhannya, kebutuhan dan perkembangannya. Selain itu, ketimpangan gender serta sikap permisif dan kurang memahami konsep kekerasan terhadap anak ikut menjadi pemicunya,” terangnya.
Sebagai informasi, webinar ke-16 mendatang akan kembali mengangkat tema kekerasan seksual. Webinar diselenggarakan melalui aplikasi Zoom yang dapat diakses oleh peserta yang sudah mendaftarkan diri melalui tautan https://bit.ly/puspeka-akbg. Acara akan disiarkan secara langsung di kanal youtube Cerdas Berkarakter Kemdikbud RI, radio suara edukasi (suaraedukasi.kemdikbud.go.id), radio edukasi (radioedukasi.kemdikbud.go.id) dan radio itjen (radio.itjen.kemdikbud.go.id).
“Mudah-mudahan nanti para sahabat karakter diharapkan ikut serta lagi” tutup Hendarman.***(Jenab/Dina Ayu/Denty.A)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 7534 kali
Editor :
Dilihat 7534 kali