Tingkatkan Pemahaman Ilmu Forensik Kebahasaan, Badan Bahasa Gelar Kelas Daring  28 Juli 2021  ← Back

Jakarta,  27 Juli 2021 --- Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, menyelenggarakan Kelas Daring Laboratorium Forensik Kebahasaan secara daring melalui aplikasi Zoom dan YouTube Badan Bahasa pada tanggal 26 s.d. 30 Juli 2021. Kegiatan ini diselenggarakan guna meningkatkan pemahaman ilmu forensik kebahasaan bagi praktisi, pegiat riset, pemangku kepentingan, dan masyarakat umum yang berminat terhadap ilmu forensik kebahasaan,

Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, E. Aminudin Aziz, mengatakan, kasus-kasus (forensik kebahasaan) yang sekarang ini muncul terutama di media daring, ujung-ujungnya berurusan dengan pengaduan kepada pihak kepolisian. Hal tersebut, kata dia, akibat dari penggunaan bahasa yang tidak wajar. “Oleh karena itu, saya menyambut baik inisiatif untuk mengadakan kelas daring ini dan berterima kasih kepada semua pihak yang telah mendukung kegiatan ini,” ujarnya saat membuka acara tersebut, Senin, (26/7).

Aminudin Aziz melihat antusiasme peserta yang ingin mengikuti kelas daring ini sebagai sebuah respons yang positif dari para pemerhati dan peminat untuk urusan bahasa dan hukum. “Mudah-mudahan ke depan acara seperti ini bisa menjadi sebuah cara bagaimana kita memberdayakan masyarakat pengguna bahasa supaya ketika berbahasa itu betul-betul berbahasa yang bermakna dan menunjukkan martabat,” harapnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, M. Abdul Khak, melaporkan bahwa peserta yang terdaftar melalui aplikasi Zoom sebanyak 479 orang. Para peserta tersebut berasal dari pegawai Badan Bahasa sebanyak 61 orang dan dari luar Badan Bahasa sebanyak  418 orang yang terdiri atas para dosen, guru, perwakilan kementerian dan lembaga, perwakilan penerbit, dan perwakilan perusahaan pengembang teknologi. “Karena terbatas oleh kuota, maka peserta yang tidak bisa mengikuti acara melalui Zoom dialihkan untuk mengikuti melalui YouTube Badan Bahasa,” ungkapnya.

Abdul Khak menambahkan, narasumber yang dihadirkan di kelas daring sebanyak 14 orang, yang terdiri atas 3 orang dari Badan Bahasa, 2 orang dari Kepolisian RI, 1 orang dari BNPT, 1 orang dari BSSN, 1 orang dari LIPI, dan 6 orang praktisi dan pengembang teknologi dan riset forensik kebahasaan. Selain untuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan pemahaman tentang forensik kebahasaan bagi peserta, Abdul Khak menyebut tujuan lain acara ini adalah agar ke depan Badan Bahasa menjadi rujukan terkait urusan bahasa dan hukum.
 
Mengenal Forensik Kebahasaan

Forensik kebahasaan atau linguistik forensik merupakan cabang ilmu linguistik yang mempelajari dan mengkaji ilmu bahasa dalam ranah hukum. Cabang linguistik ini mengkaji secara lebih dalam tentang penggunaan bahasa yang digunakan oleh seseorang yang terlibat dalam suatu kasus.

Dikatakan oleh E. Aminudin Aziz, ada sebuah dalil dalam filsafat linguistik, yaitu hakikat makna berada pada minda seorang penutur atau The True Meaning Lies Behind The Speaker's Mind. Menurutnya, jika berbicara tentang hakikat berbahasa, maka bagaimanapun bisa dikatakan bahwa berbahasa itu sesungguhnya adalah berwacana.

“Dalam konteks ini yang kita maksud dengan berwacana itu adalah mengonstruksi maksud, jadi kita mencoba mengemas apa yang menjadi gagasan, pemikiran, ide-ide, dan maksud komunikasi kita melalui tuturan,” ujarnya saat memaparkan materi bertajuk “Membedah Wacana untuk Tujuan Forensik”, Senin (26/7).

Ia melanjutkan, ketika seseorang berwacana, maka akan dipengaruhi oleh latar budayanya. Aminudin menjelaskan, terdapat empat jenis konstruksi wacana menurut latar budaya penutur. Pertama, sirkular (memutar). Para penutur dengan latar budaya ini mereka akan berbicara berputar-putar tanpa mengatakan langsung apa yang sebenarnya menjadi tujuan dari proses komunikasi yang dilakukan. Tetapi bagi mitra tuturnya tidak menjadi permasalahan karena sudah saling memahami.

Pola ini ditemukan dalam wacana orang timur, seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok, termasuk kebanyakan orang Indonesia. Kebanyakan di sini mengartikan bisa saja antara Indonesia bagian barat, tengah, dan timur itu berbeda. Hal ini berbeda dengan negara yang cenderung monokultural seperti halnya Jepang, Korea, dan Tiongkok bisa dideteksi polanya sirkular.

Kedua, linier (segaris). Segaris itu misalnya mengatakan sesuatu A, maka akan didukung dengan berbagai informasi yang akan mendukung informasi A tersebut. Pola ini umumnya diadopsi oleh orang-orang yang berlatar belakang budaya Inggris (anglo). “Jadi, bisa kita bedakan antara pola sirkular dan linier itu. Pola linier selalu memiliki kalimat utama yang didukung kalimat pendukung dan ujungnya terdapat simpulan, sedangkan yang sirkular itu tidak ada kalimat utama dan simpulan,” jelas Amin.

Ketiga, digresif (berpendar). Pola ini terdapat topik utama dan dari situ akan memencar ke mana-mana. Mungkin di tengah akan bertemu ketika membicarakan A disinggung juga isu A tersebut setelah menyajikan berbagai topik atau gagasan baru, tetapi ujungnya akan ada simpulan. Pola ini ditemukan dalam budaya orang Jerman.

Keempat, pararel yang mengatakan satu hal akan lurus disebutkan tanpa ada kalimat pendukung dan argumen lain. Kemudian, untuk mengatakan itu penting, maka akan dibuat satu ungkapan lain yang pararel dan dijadikan pembanding. Pola ini ditemukan dalam wacana orang-orang yang berlatar belakang bahasa Arab.

Lebih lanjut, Aminudin mengungkapkan bahwa dalam menganalisis wacana, konsep yang menjadi acuan adalah proposisi karena setiap tuturan itu mengandung proposisi, yakni esensi atau bagian dari makna yang ingin dikemukakan oleh penutur melalui tuturannya, yang dengan itu dia menjadi memiliki nilai kebenaran.

Aminudin mengatakan, proposisi menjadi penting karena hal tersebut yang akan dianalisis. Ia menambahkan, pada kalimat paling dasar konstruksinya adalah deklaratif. Apabila sebuah kalimat merupakan kalimat interogatif atau imperatif, maka hal tersebut hanya mengubah konstruksi dari kalimat deklaratif.

“Artinya, walaupun disebutkan dalam definisi proposisi itu hanya kalimat deklaratif, tetapi sesungguhnya proposisi itu mencakup jenis kalimat interogatif atau imperatif. Namun, perlu diingat ada tuturan-tuturan yang tidak memillki nilai kebenaran, misalnya hai, aduh, wow, atau sejenisnya yang perlu dianalisis dengan model yang lain (nonproposisional),” jelas Aminudin.

Selanjutnya, menurut Aminudin, perangkat untuk menganalisis wacana itu terdiri atas unsur linguistik dan nonlinguistik. Unsur-unsur nonlinguistik itu meliputi: (1) warna suara (biasanya menggunakan spektrograf dan (2) prosodi (nada, tekanan, gerak tubuh, dan jenis mimik lainnya). Kemudian, untuk perangkat linguistik meliputi: (1) praanggapan (presupposition), makna ikutan (entailments), (3) implikatur berskala (scalar implicature), (4) pemagaran dan penguat (hedges and boosters), dan (5) syarat-syarat kebahagiaan (felicity conditions).

Kemudian, Ia menambahkan, ada empat hal yang harus diperhatikan dalam menganalisis: (1) pengaturan pertuturan yang harus kita perhatikan karena akan menentukan lanjutan dari suatu analisis, (2) kompetensi dalam berbahasa, khususnya bagi saksi dan tersangka karena keduanya bisa mengatakan sesuatu yang bertolak belakang, apakah yang digunakan itu bahasa awam atau bahasa ahli, ini harus kita pahami ketika menganalisis wacana, (3) hubungan antarpersonal, yaitu penutur dan mitra tutur karena dalam wacana akan tergambar siapa yang diajak bicara, dan (4) pemahaman pragmatik antarbudaya karena bisa saja teks yang kita analisis itu justru berasal dari budaya yang berbeda sehingga ketika menganalisisnya harus menggunakan kacamata budaya dari bahasa yang dipakai.

“Dan yang harus diketahui oleh seorang ahli forensik kebahasaan adalah ketika dia akan menganalisis sebuah bahasa target, maka dia harus paham tentang bahasa itu karena tugasnya itu memberikan analisis yang komprehensif, kalau ada ungkapan seperti ini maknanya apa,” ujar Aminudin.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, M. Abdul Khak mengatakan bahwa dalam wacana bahasa dan hukum atau forensik kebahasaan terdapat tiga hal: (1) bahasa dalam produk hukum (UU, PP, perda, akta jual beli, perjanjian, kontrak, dsb), (2) bahasa sebagai alat bukti hukum, misalnya ketika ada kasus-kasus pencemaran nama baik, dan (3) bahasa dalam proses hukum, ketika terjadi penggunaan bahasa di ruang sidang.

“Wacana adalah bahasa yang digunakan untuk mengungkapkan hubungan sosial dan proses yang secara sistematis menentukan variasi sifat-sifatnya, termasuk bentuk-bentuk bahasa yang muncul dalam teks. Analisis wacana meliputi tiga level: teks (mikro), praktik wacana (meso), dan praktik sosial (makro). Hal lainnya yang harus dicermati dalam forensik kebahasaan adalah setiap orang itu mempunyai habitus sendiri. Artinya, orang yang lahir, lalu dibesarkan oleh lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar sampai menjelang dewasa sangat berpengaruh kepada yang bersangkutan ketika nanti dewasa,” ungkap Abdul Khak saat memaparkan materi bertajuk “Wacana Bahasa dan Hukum”.

Abdul Khak menambahkan bahwa untuk dapat memahami ujaran atau wacana itu dengan baik dan tepat dapat dibantu oleh beberapa aspek, antara lain aspek tekstual, konteks, tuturan, dan ideologi pembicaranya. “Setiap kita dapat menjustifikasi ujaran atau wacana, apabila secara tekstual data dukungnya ada dan secara teori dibenarkan, maka itu bisa menjadi bukti di pengadilan,” pungkas Abdul Khak.

Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi

Laman: kemdikbud.go.id    
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id

#ForensikKebahasaan
#BadanBahasaBermanfaatBermartabat
#MerdekaBelajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 365/sipres/A6/VII/2021

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 989 kali