Kearifan Lokal Masyarakat Adat dalam Upaya Mitigasi terhadap Pandemi Covid-19  21 Februari 2022  ← Back



Jakarta, Kemendikbudristek --- Ada beragam kearifan lokal yang diterapkan masyarakat adat dalam upaya adaptasi dan mitigasi terhadap pandemi Covid-19. Sebuah laporan mengenai Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19 memberikan gambaran dan pemetaan yang komprehensif mengenai dampak pandemi Covid-19 pada masyarakat adat dan upaya mitigasi atau pengurangan dampak/risiko berdasarkan kearifan lokal yang dimiliki. Laporan tersebut diterbitkan oleh Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Laporan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19 menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode  observasi, wawancara tatap muka, wawancara melalui telepon, survei daring, dan pencatatan informasi dari mitra yang ada di lapangan. Dari pendekatan kualitatif tersebut tercatat bahwa masyarakat adat di Indonesia merespons pandemi dengan cara beragam, sesuai dengan karakteristik, pengetahuan, dan pengalaman mereka yang juga berbeda-beda. Meskipun Covid-19 merupakan penyakit baru, sebagian masyarakat adat telah memiliki pengetahuan tentang penyakit menular yang pernah dialami sebelumnya, sehingga mereka bersikap lebih hati-hati.

Misalnya masyarakat adat Punan Tubu di Kalimantan. Mereka telah mengenal wabah sebagai kelapit, yang dicirikan dengan orang sehat yang hari ini, lalu sakit, dan besok bisa mati. Untuk menghindari penularan, warga diajarkan segera menjauh ke dalam hutan dan tinggal terpisah dalam kelompok-kelompok kecil yang hanya terdiri dari keluarga inti. Sedangkan mereka yang sakit akan ditinggalkan di satu tempat khusus yang telah ditandai.

Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat adat Topo Uma di Sulawesi Tengah. Mereka telah memiliki pengetahuan lokal tentang penyakit menular yang terintegrasi dalam pola ruang dan perkampungan. Jarak antardesa di wilayah adat ini relatif jauh. Selain itu, tiap keluarga memiliki Polompua, semacam rumah kebun yang bisa jadi tempat mengasingkan diri sambil menjalankan kegiatan berkebun.

Tradisi masuk dan menjauh ke dalam hutan juga dipraktikkan oleh Orang Rimba di Bukit Dua belas, Jambi. Orang Rimba menyebut tradisi ini sebagai Besesandingon, di mana mereka akan masuk ke hutan dan menetap dalam waktu tertentu di sana. Selama masa Besesandingon ini, Orang Rimba juga melarang orang asing masuk. Ini menjadi cara bagi Orang Rimba untuk mencegah penularan penyakit.

Bagi masyarakat adat yang tinggal menetap dan wilayah ulayat, seperti Baduy di Banten, respons mereka terhadap pandemi dilakukan dengan cara menutup atau memperketat pintu masuk ke wilayah mereka. Sejak pandemi, Orang Baduy Dalam sangat membatasi kedatangan orang luar, sehingga mereka mampu menjaga kampung mereka bebas dari kasus Covid-19.

Karantina wilayah serupa juga dilakukan masyarakat adat Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Mereka menutup desa dari kunjungan orang luar dan meminta agar raja menutup sementara rumah raja dari kunjungan tamu, serta menerapkan protokol kesehatan seperti menggunakan masker untuk warga suku Boti.

Catatan penting dari keberhasilan karantina wilayah adat seperti di Baduy dan Boti ini adalah karena mereka memiliki kepemimpinan, modal sosial, dan ketahanan pangan yang kuat serta mampu menopang kebutuhan mereka selama pandemi.

Namun demikian, tidak semua masyarakat adat memiliki pengetahuan atau pengalaman menghadapi wabah seperti Punan Tubu, Topo Uma, dan Orang Rimba. Kapasitas dan sistem pertahanan sosial dan pangan masyarakat adat juga tidak semuanya cukup untuk bertahan menghadapi pandemi.

Bagi masyarakat adat yang terbuka dan semi-tertutup, seperti di Rote Ndao, Baduy Luar, dan Osing, upaya mitigasi yang perlu dilakukan adalah mitigasi kesehatan, sosial ekonomi, dan budaya yang lebih terintegrasi. Permasalahan yang dihadapi masyarakat adat terbuka lebih kompleks karena mereka tidak sepenuhnya mampu bertahan sendiri dan membutuhkan sentuhan atau pendampingan dari luar.

Laporan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19 juga mencatat bahwa banyaknya disinformasi terkait Covid-19 yang beredar, minimnya fasilitas kesehatan, dan stigma terhadap mereka yang melaporkan diri, menjadi masalah yang harus ditindaklanjuti dengan sosialisasi dan komunikasi risiko yang lebih baik lagi. Peran tokoh atau pemimpin masyarakat adat dalam memberikan edukasi dan informasi terkait Covid-19 dan vaksinasi juga sangat penting.

Beberapa rekomendasi yang dikeluarkan dalam laporan ini adalah perlunya penguatan peran pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas), terutama puskesmas pembantu (Pustu) yang berada paling dekat dengan lokasi atau wilayah komunitas masyarakat adat, karena bisa menjadi kunci penguatan komunitas masyarakat adat. Selain itu perlu adanya mobilisasi sumber daya manusia dan tenaga kesehatan di pustu-pustu sebagai sebuah langkah mitigasi kesehatan yang dapat dilakukan pemerintah dalam memberikan perlindungan kepada masyarakat adat. Kehadiran pustu juga bisa menjadi media sosialisasi untuk menangkal berbagai disinformasi mengenai Covid-19 di lingkungan masyarakat adat.

Direktur Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Masyarakat Adat, Sjamsul Hadi, mengatakan Laporan Adaptasi dan Mitigasi Masyarakat Adat terhadap Pandemi Covid-19 bertujuan memberikan gambaran terkait dampak pandemi Covid-19 pada masyarakat adat serta bagaimana upaya adaptasi dan mitigasi masyarakat adat di Indonesia yang memiliki karakteristik berbeda-beda. “Laporan ini digali dari para pendamping dan anggota masyarakat adat di lapangan selama pandemi,” ujar Sjamsul Hadi dalam  Bincang Ruang Adat dan Budaya yang diselenggarakan secara daring, pada Selasa, (15/2/2022).

Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, dalam strategi penanganan dampak pandemi pada masyarakat adat, sangat penting untuk memperhatikan latar belakang (kekhususan/keragaman) masyarakat adat yang berbeda-beda di setiap wilayahnya. Menurutnya, penanganan berbasis karakteristik khusus masyarakat adat ini akan mendorong penanganan pandemi yang lebih berkeadilan, terutama bagi masyarakat adat yang telah memiliki kerentanan sebelum pandemi untuk mendapatkan prioritas penanganan. (Desliana Maulipaksi/Sumber: Setditjen Kebudayaan)


Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 5609 kali