Antusias Penonton di Banda Neira Saksikan Lomba Belang Adat pada Muhibah Jalur Rempah  26 Juni 2022  ← Back



Banda Neira, Kemendikbudristek - Muhibah Budaya Jalur Rempah 2022 telah sampai di titik kelima, Banda Neira. Berbagai kegiatan di lokus ini diikuti oleh Laskar Rempah dari 34 provinsi, yaitu ekskursi ke cagar budaya, dialog dengan tokoh adat, dan festival Tari Cakalele. Di hari terakhir sebelum kembali berlayar untuk melanjutkan perjalanan ke Kupang, Laskar Rempah menyaksikan Lomba Belang Adat Banda Neira (21/6), di Teluk Banda.
 
Tidak hanya Laskar Rempah, sejak pagi hari pesisir pantai juga dipenuhi oleh masyarakat Banda yang antusias menyaksikan perlombaan ini. Ketua Umum Perkumpulan Banda Neira Muda (Perbamu), Isra Prasetya mengatakan tujuan lomba ini adalah untuk melestarikan nilai-nilai budaya dan tradisi setempat agar tetap terjaga.
 
Pada lomba belang adat yang menjadi agenda dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah ini, peserta berasal dari tiga kampung adat, yaitu Namasawar, Lonthoir, dan Salamon. “Dari tujuh kampung adat, hari ini hanya ada tiga kampung adat yang mengikuti lomba belang adat. Beberapa kampung adat, belangnya tidak siap karena sudah tua usianya, misalnya belang adat Pulau Ay. Kalau Waer, sebenarnya bisa ikut lomba, tapi cuaca tidak memungkinkan karena posisinya yang di belakang dan kena angin timur atau ombak. Jadi, berisiko,” jelas Isra.
 
Tepat pukul 08.00 WIT, lomba pun dimulai diawali dengan pengundian nomor urut perahu oleh Dirjen Kebudayaan Kemendikburistek Hilmar Farid. Pulau Karaka atau Laut Taka menjadi garis awal dari lomba ini. Begitu ada tanda mulai (start), belang peserta melaju dengan kecepatan tinggi.
 
“Orang yang mengayuh belang biasanya orang di kampung yang fisiknya paling prima. Dalam mengayuh, ada ilmunya. Mereka biasanya pukul 30 atau pukul 40, artinya ada irama dayungnya bagaimana yang cepat. Masing-masing punya strategi, bisa pada saat start mereka langsung kencang dulu di depan lalu jaga ketahanan, ada yang jaga konsistensi. Masing-masing punya teknik,” ujar Isra.
 
Sorak sorai penonton meramaikan pesisir pantai depan Istana Mini, menyambut kedatangan belang adat di garis akhir (finish). Terlihat dari kejauhan, belang dari Kampung Adat Selamon memimpin perlombaan ini dan berhasil menjadi pemenang, disusul oleh Lonthoir dan Namasawar sebagai juara dua dan tiga.
 
Meski Lomba Belang Adat merupakan kegiatan rutin tahunan, tetapi lomba ini tetap menjadi hiburan utama masyarakat Banda. “Ketika ada lomba belang, masyarakat tumpah ruah dan kalau tidak ada lomba seperti ini, Banda terasa sepi sekali,” jelas Isra. Isra juga menambahkan bahwa selain sebagai pelestarian budaya, Lomba Belang Adat juga menjadi ajang silaturahmi masyarakat Banda.
 
Ke depannya, Isra berharap lomba ini diteruskan ke generasi mendatang karena tersirat pesan-pesan filosofi di belang adat tersebut. “Ada pesan dakwah Islam yang tersirat di dalam belang adat ini. Misalnya, 30 orang yang mendayung menunjukkan 30 juz Alquran. Semua ada maknanya,” jelasnya.
 
Belang merupakan alat transportasi tradisional yang digunakan sebelum peralatan modern masuk ke Banda. Ketika penjajah masuk ke Kepulauan Banda, belang digunakan sebagai transportasi dalam penyerangan penjajah. Lomba ini diadakan setiap tahunnya untuk mengenang perjuangan dan perlawanan rakyat Banda.Setiap Perahu Belang memiliki panjang 40 meter dan berkapasitas 36 orang, terdiri dari satu pemuka belang, satu juru mudi, dua juru kabata atau bahasa adat, dua orang penimba ruang air, dan 30 penumpang. (Penulis: Tim Redaksi Muhibah Budaya Jalur Rempah/Editor: Denty A.)
Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 2510 kali