Dana Fasilitasi Bidang Kebudayaan Bantu Pegiat Hidupkan Kembali Gairah Seni Ukir di Gianyar  31 Agustus 2022  ← Back



Gianyar, Kemendikbudristek --- Desa Guwang dikenal dengan salah satu desa di Gianyar yang memiliki pengukir dan pemahat andal di Bali. Desa dengan maskot patung Garuda Wisnu yang terletak di tengah desa tersebut, tengah berbenah untuk menghidupkan kembali seni ukir di kalangan anak-anak.

Di salah satu sudut Desa Guwang, hadir seorang pegiat budaya yang berkecimpung pada upaya menarik minat anak-anak sekitar untuk kembali mengenal budaya asli seni ukir. I Komang Adhiarta, membangun Kulidan Kitchen and Space sebagai galeri seni karya yang multifungsi. Beragam karya telah dipamerkan di galeri tersebut, utamanya karya hasil anak-anak sekitar dalam mengenal seni ukir.

Sejak dibangun pada 2016, galeri milik Komang menerapkan pola gotong royong dalam menghimpun karya seni untuk dipamerkan. Namun tahun ini, pria kelahiran 1974 tersebut berhasil menjadi salah satu penerima dana Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

“Saya mengajukan proposal untuk dana FBK pada 2021, dan baru cair pada Juni 2022,” tutur Komang saat ditemui di galerinya di Gianyar, Bali, pekan lalu.

Dalam kesempatan tersebut, Komang menceritakan latar belakang upayanya untuk menghidupkan kembali gurat seni di kawasan Desa Guwang. Kesadaran akan kelangkaan pengukir dan pemahat di kalangan generasi muda memantik jiwa Komang untuk melakukan sesuatu. Menurut dia, generasi yang lahir setelah tahun 2000 tidak lagi mengenal tradisi ukir.

“Di desa ini sejarahnya adalah ukir. Puncak kejayaannya itu sekitar tahun 1930-an. Tahun itu orang tua di sini masih mengukir batu padas untuk pintu masuk ke pura,” jelas Komang mengisahkan kondisi Desa Guwang yang ia dapat dari para penduduk setempat.

Dua puluh tahun setelahnya, kata Komang, penduduk Guwang tidak hanya mengukir batu padas namun juga kayu. Hal itu dilatari dengan masuknya pariwisata yang masif ke Bali sehingga pembuatan ukiran mencari media yang lebih mudah untuk dibawa. Hingga masa kecilnya, di awal hingga pertengahan tahun 1980-an, Komang masih sempat mengenyam pendidikan seni ukir dari masyarakat Guwang.

“Waktu saya kecil, jika ada teman saya yang bapaknya bisa mengukir, kita akan berkumpul di rumahnya untuk belajar mengukir. Belajar dari ukiran sederhana seperti motif telur siput, sampai dengan membuat patra,” kata Komang.

Seiring perkembangan zaman yang diiringi perkembangan teknologi, Komang menyaksikan anak-anak tidak lagi tertarik untuk mempelajari seni ukir. Keberadaan gawai dan internet beserta platformnya mengubah pola bermain dan hiburan anak-anak menjadi lebih instant. Padahal, menurut Komang, keterampilan dalam mengukir memiliki nilai ekonomi tinggi jika ditekuni.

Pendapat Komang juga diamini oleh Wayan Sumiarto, salah satu penduduk yang juga orang tua dari peserta workshop di galeri milik Komang. Wayan merupakan generasi terakhir di keluarganya yang bisa membuat ukiran. Sama seperti Komang, Wayan pun tak ingin tradisi ukiran yang dulunya menjadi kebanggan Guwang lantas dilupakan generasi berikutnya. Maka dengan adanya workshop yang digelar oleh Komang tersebut, menyemangati Wayan untuk mengikutkan anaknya.

“Sekarang sudah jarang yang mau belajar mengukir, karena beda zaman. Sekarang banyak yang lebih simpel karena teknologi. Saya ingin anak saya bisa mengukir lagi, karena sekarang sudah jarang yang bisa mengukir, karena gengsi. Kita juga harus melestarikan seni ini, karena kalau sampai punah sayang sekali,” urainya.

Kehadiran dana FBK dari Kemendikbudristek menjadi angin segar bagi Komang. Ia mengaku sangat terbantu dan bisa lebih leluasa mencari narasumber untuk hadir dalam workshop yang digelar di Kulidan. Saat mengajukan proposal dana FBK, Komang merancang lima program dengan sasaran orang tua dan anak-anak. Mulai dari seminar yang menghadirkan narasumber yang membantu orang tua untuk berdamai dengan pandemi, workshop untuk anak SMK dan anak penduduk sekitar, hingga pameran yang akan menjadi media apresiasi karya peserta workshop.

Seminar dengan dana FBK pertama kali dilakukan Komang pada 19 Agustus, lalu dilanjutkan dengan workshop pada 23 Agustus 2022, yaitu workshop Menggambar Ornamen Tradisi Bali. Berikutnya, workshop Menggambar Lino Cut Ornamen Tradisi Bali pada 24 Agustus dan diakhiri dengan workshop Mengukir Ornamen Tradisi Bali pada 26-27 Agustus 2022. Puncak dari kegiatan tersebut adalah pameran karya peserta workshop yang akan digelar 3 September 2022.

Salah satu peserta workshop Mengukir Ornamen Tradisi Bali, Agus Rifa mengaku sangat senang bisa menambah ilmu melalui kegiatan ini. Siswa kelas XI SMK 1 Sukawati tersebut memilih jurusan seni rupa di sekolahnya. Dengan workshop semacam ini, Rifa mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru yang mendukung pengembangan kompetensinya. “Apalagi orang tua memiliki galeri juga, jadi sangat tertarik dengan seni ini dari mereka juga,” tuturnya.

Tak hanya Agus Rifa dan teman-teman, workshop yang diselenggarakan di Kulidan Kitchan and Space ini juga mengundang anak-anak inklusi dari SMK 1 Sukawati. Salah satunya adalah Sadewa yang mengambil jurusan seni lukis. Sadewa merupakan salah satu anak difabel di bagian kaki dari kelas X SMK 1 Sukawati. Dengan keterbatasan tersebut, Sadewa tidak dapat mengikuti kelas mengukir batu padas. Namun hal tersebut tidak mengurangi semangatnya untuk berkarya, apalagi ia mendapat ilmu baru yang belum didapatkan di sekolah. “Di sini sudah diajari mencampur warna, ini lebih duluan diajarinnya dari pada di sekolah,” katanya.

Antusiasme siswa dan masyarakat dalam mendukung upaya Komang menggugah kembali geliat seni ukir di Desa Guwang, mendorong Komang untuk terus berkarya. Ia berharap lebih banyak seniman dan budayawan yang bisa mendapatkan dana FBK agar cakupan dan kualitas pelatihan semacam ini bisa terus meningkat. (Aline Rogeleonick)
Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1781 kali