Kampus Mengajar Beri Pengalaman Berharga bagi Mahasiswa Nonkependidikan  18 Februari 2023  ← Back

Palu, 18 Februari 2023 — Salah satu hal yang menarik dari program Kampus Mengajar adalah mahasiswa yang ditugaskan tidak hanya berasal dari program studi kependidikan. Program ini dapat diikuti oleh mahasiswa dari program studi di luar bidang pendidikan, seperti hukum, ekonomi, manajemen, hingga ilmu sosial dan politik.

Alumni Kampus Mengajar angkatan IV yang baru saja menyelesaikan penugasan berbagi cerita tentang pengalamannya selama empat bulan di sekolah dan berinteraksi dengan guru dan siswa. Dari Kota Palu, Marsil Pangkelangi, mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Tadulako (Untad), menyebut bahwa Kampus Mengajar adalah pengalaman berharga dalam hidup.

“Secara pribadi, karena Saya bukan dari bidang pendidikan, pengalaman berharga sekali bisa mengajar di dalam kelas, berkolaborasi dengan guru-guru, dan mengesampingkan kepentingan pribadi dengan mengutamakan kebutuhan siswa,” ujar Marsil di kantor BPMP Sulawesi Tengah, usai mengikuti acara pelepasan mahasiswa Kampus Mengajar angkatan V oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, Jumat (17/2).

Mahasiswi semester 6 Untad ini ditugaskan di SMP Negeri 22 Palu. Di sekolah tersebut, Marsil bersama lima rekannya yang berasal dari jurusan berbeda menyatukan semangat untuk membantu para guru dalam mendidik 102 siswa. Dengan mengikuti Kampus Mengajar, Marsil mengaku kemampuan nonteknisnya meningkat. “Jadi Kampus Mengajar ini sangat bagus, apalagi untuk mahasiswa seperti Saya yang kurang senang untuk mengikuti kegiatan berbentuk organisasi, dalam membangun softskills,” tuturnya.

Latar belakang pendidikan di bidang hukum tidak membuat Marsil berkecil hati dalam menjalankan penugasan. Walaupun di masa awal penugasan sempat ada kekhawatiran dan keraguan akan kemampuannya berhadapan dengan siswa.

“Hanya awalnya saja sempat takut, tapi setelah dijalani ternyata menyenangkan. Saya dipercaya mengajar mata pelajaran PKN, mulai dari penilaian sampai ke pemberian tugas akhir,” katanya.

Pengalaman Marsil di Kampus Mengajar juga semakin terasa menyenangkan, karena menurutnya dukungan dari kampus, orang tua, maupun sekolah tempat penugasan, sangat baik. Dari kampus ia mendapatkan konversi 20 sks tanpa ada masalah dan diberi nilai sempurna.

Selama penugasan, Marsil dan teman-teman satu timnya tinggal di rumah guru pamong yang berjarak 10 menit dari sekolah. Hal tersebut menjadi pilihan terbaik bagi Marsil karena antara sekolah dan rumahnya di Palu berjarak satu jam perjalanan. “Medan yang kami tempuh jika harus berangkat dari rumah itu cukup rawan, karena di dekat sekolah itu ada pabrik yang banyak memiliki truk-truk besar di sepanjang jalan,” katanya.

Jika Marsil adalah mahasiswa nonkependidikan, cerita lain juga datang dari mahasiswa dari jurusan Pendidikan Sejarah, Universitas Tadulako, Muhamad Fiqran, yang juga memiliki tim yang kebanyakan bukan dari bidang pendidikan. Empat rekan Fiqran berasal dari latar belakang pendidikan berbeda, mulai dari geografi, manajemen, dan lain sebagainya.

“Saat bertugas di angkatan IV, kebetulan Saya ditunjuk menjadi ketua tim untuk penempatan di SMP N 21, Petobo, Palu. Jadi saya membagi bidang tugas dengan teman-teman lalu mendiskusikannya dengan guru dan kepala sekolah,” tuturnya.

Ia pun mengaku keikutsertaannya dalam Kampus Mengajar membuatnya mampu mempersiapkan diri lebih baik sebelum lulus dari universitas dan terjun ke dunia pendidikan di masyarakat. Pengalamannya berinteraksi dengan siswa, guru, dan berkolaborasi dengan rekan satu tim, memberinya lebih banyak bekal.

Mahasiswa berdarah Bugis ini tidak hanya mengisi hari-hari penugasannya dengan bidang akademik siswa. Ia mengaku sangat memerhatikan perkembangan karakter setiap anak didiknya. Saat di awal ditugaskan, Fiqran menyebut anak didiknya menyambut kehadiran tim Kampus Mengajar dengan baik, walaupun masih terasa sungkan. Namun dengan bertambah waktu interaksi, Fiqran mulai melihat karakter masing-masing anak yang sangat lekat dengan latar belakang budaya.

“Ada siswa yang memanggil gurunya dengan sebutan “woy”, yang bagi saya sangat tidak sopan. Tapi saya tidak langsung menghakimi dia, melainkan mencari tahu dulu kenapa anak tersebut berbicara seperti itu. Setelah saya selidiki, baru Saya tahu bahwa di lingkungan anak tersebut yang merupakan penduduk asli Palu, bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa. Bukan bentuk ketidaksopanan,” jelas mahasiswa semester 6 tersebut.

Baik Marsil maupun Fiqran berharap agar program Kampus Mengajar akan bisa terus diikuti oleh adik-adik tingkatnya.
Selain karena pengalaman yang diperoleh, menurut keduanya Kampus Mengajar merupakan program yang dapat membantu peserta didik mendapatkan ilmu dan pengetahuan baru di luar yang disampaikan guru di sekolah.

“Harapannya agar Kampus Mengajar tetap berlanjut, dan teknis pelaksanaanya bisa lebih baik,” tutup Fiqran yang diamini oleh Marsil. (Aline R)



Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id

Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id

#MerdekaBelajar #KampusMengajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 79/sipers/A6/II/2023

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 967 kali