Kurikulum Merdeka Dapat Dikembangkan Secara Kontekstual Menjadi Muatan Lokal Sesuai Potensi Daerah 05 September 2023 ← Back
Yogyakarta, 1 September 2023 – Diversifikasi kurikulum menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan siswa di bidang literasi, numerasi, dan sains melalui muatan kurikulum yang kontekstual. Dengan pengembangan kurikulum yang kontekstual, diharapkan peserta didik dapat memiliki kecakapan hidup sesuai dengan kondisi kehidupannya saat ini dan masa depan untuk hidup berkelanjutan (sustainable) dengan segala tantangan di masa depan.
Untuk meningkatkan kompetensi tim pengembang kurikulum dalam pengembangan kurikulum di tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Kemendikbudristek melalui Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar) menggelar Lokakarya Peningkatan Kapasitas Tim Pengembang Kurikulum Provinsi dan Kabupaten/Kota di Yogyakarta, pada 29 Agustus s.d. 1 September 2023. Lokakarya diselenggarakan untuk melakukan pembinaan dan pendampingan kepada Tim Pengembang Kurikulum Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota dalam menerapkan kurikulum nasional dan mendorong daerah secara mandiri mengembangkan kurikulum kontekstual (muatan lokal/mulok) yang sesuai dengan kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha, dan dunia kerja.
Salah satu peserta lokakarya, Kasie Bidang Pendidikan Dasar, Kurikulum, dan Peserta Didik; Dinas Pendidikan Kota Payakumbuh; Nikmat Elva, mengatakan bahwa sejak tahun lalu Kota Payakumbuh, Sumatra Barat, telah menjadikan mata pelajaran konteks kearifan lokal (muatan lokal) sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dan terpisah dari mata pelajaran lain.
“Sebenarnya berdasarkan panduan dari Kemendikbduristek, muatan lokal boleh terintegrasi ke dalam intrakurikuler, kokurikuler, atau mata pelajaran yang berdiri sendiri. Kami lalu memilih sebagai mata pelajaran yang berdiri sendiri dan sudah konsultasi ke Kemendikbudristek. Awalnya dibutuhkan peraturan daerah, seperti peraturan walikota, tapi karena prosesnya panjang dan butuh waktu, jadi cukup dengan keputusan walikota, akhirnya kearifan lokal ini kami angkat sebagai mata pelajaran,” katanya di sela-sela Lokakarya Peningkatan Kapasitas Tim Pengembang Kurikulum Tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kota Yogyakarta, Rabu (30/8/2023).
Nikmat menuturkan, karena Payakumbuh dikenal sebagai sentra rendang dan memiliki pusat industri rendang, Pemerintah Kota Payakumbuh lalu membuat program kearifan lokal berupa School of Rendang (SoR). Peserta didik diajak melihat proses pengolahan rendang modern di sentra industri, mempelajari higienitas prosesnya, dan bagaimana agar kandungan gizinya tidak hilang selama proses.
“Kami menghimpun semua warga sekolah dari tiap jenjang untuk belajar ke sentra rendang, jadi ada jadwalnya secara bergiliran melalui MoU dengan Dinas Tenaga Kerja dan Perindustrian. Anak-anak terjun langsung ke lapangan dalam proses pembuatan rendang sesuai dengan jenjangnya. Misalnya, untuk PAUD dan kelas 1-2 SD tentu belum belajar sampai tahap pembuatan, jadi hanya di tahap pengenalan bahan dan alat. Kemudian belajar proses pengolahan rendang dimulai di kelas 3 SD,” tuturnya.
Pengembangan Kurikulum Merdeka ke dalam muatan lokal atau sesuai dengan potensi daerah juga diterapkan oleh Kepala SD Negeri Klego 04 Kota Pekalongan, Jawa Tengah, Yeni Fisnani. Ia mengatakan, Kota Pekalongan sudah mengembangkan Kurikulum Merdeka dengan membuat kurikulum muatan lokal kebencanaan. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi Kota Pekalongan yang merupakan daerah rawan bencana, khususnya banjir rob.
“Di Pekalongan, karena banyak sampah yang menumpuk, jadi rawan becana. Selain itu juga karena Pekalongan terkenal dengan industri batik, jadi banyak limbah industri yang mencemari lingkungan sehingga kami anggap perlu untuk mengembangkan muatan lokal,” ujar Yeni. Dalam pengembangan kurikulum melalui muatan lokal kebencanaan, peserta didik diedukasi tentang cara penanggulangan sampah, cara daur ulang sampah, dan bagaimana mengatasi bencana banjir, termasuk mengatasi sampah yang menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA), khususnya di daerah sekitar pantai.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah (MKPS) SMK dari Dinas Pendidikan, Perpustakaan, dan Arsip Daerah Provinsi Papua, Ahmad Azikin, mengapresiasi kegiatan Lokakarya Peningkatan Kapasitas Tim Pengembang Kurikulum. Menurutnya, dalam implementasi Kurikulum Merdeka sangat dibutuhkan tim pengembang kurikulum di masing-masing provinsi/kabupaten/kota. “Kita tahu sudah ada guru penggerak, tapi guru penggerak lingkupnya masih di sekolah, sementara tim pengembang kurikulum kan berkedudukan di daerah (dinas pendidikan) sehingga ketika tim pengembang kurikulum diberdayakan lebih intens, maka penyampaian ke sekolah-sekolah bisa lebih luas dan imbasnya bisa lebih besar,” tuturnya.
Ia mengatakan, salah satu pengembangan Kurikulum Merdeka ke konteks muatan lokal khususnya di SMK di Provinsi Papua adalah memproduksi noken dan pakaian adat, termasuk mahkota, yang digunakan dalam kegiatan peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus. Menurut Azikin, Papua merupakan daerah yang sangat kaya dengan kearifan lokal. Namun, satu hal yang menjadi persoalannya adalah kurangnya dokumen kearifan lokal. “Kekayaan kearifan lokal yang dimiliki Papua kurang terdokumentasikan, terutama soal naskah akademik atau dokumen tertulis. Padahal kalau disuruh bercerita, luar biasa, sangat banyak kearifan lokal yang bisa dituturkan oleh guru dan anak-anak,” ujarnya. Karena itu, ia berharap ke depannya pengembangan Kurikulum Merdeka yang kontekstual di Papua juga bisa mendorong terdokumentasikannya kearifan lokal melalui naskah tertulis agar tidak hanya menjadi budaya tutur.
Sebelumnya, saat pembukaan lokakarya, Pelaksana Tugas (Plt.) Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran (Puskurjar), Zulfikri, mengatakan bahwa Kurikulum Merdeka telah disusun dengan lebih sederhana, fokus pada materi esensial, lebih fleksibel dan konstekstual, serta lebih fokus pada pengembangan atau pendidikan karakter. Ia menuturkan, mulai saat ini dan ke depannya, Kemendikbudristek menyusun kerangka besar kurikulum secara nasional untuk selanjutnya bisa dikembangkan oleh tim pengembang kurikulum di daerah secara lebih mendalam dan bermakna, serta sesuai dengan konteks kelokalan di daerahnya masing-masing.
Zulfikri berharap Tim Pengembang Kurikulum bisa mengembangkan kurikulum nasional secara kontekstual, antara lain melalui muatan lokal, baik sebagai bahan kajian di mata pelajaran yang relevan, maupun melalui mata pelajaran yang berdiri sendiri, atau melalui ekstrakurikuler. "Semoga Bapak/Ibu lebih bisa membumikan kurikulum nasional secara lokal sehingga Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP) benar-benar kontekstual dan sesuai dengan kondisi di daerah masing-masing dan kebutuhan peserta didik. Dengan demikian, kurikulum operasional saruan pendidikan menunjukkan warna-warni masing-masing daerah dan individu anak, tidak ada format yang seragam secara nasional,” tuturnya.
Lokakarya Peningkatan Kapasitas Tim Pengembang Kurikulum Provinsi dan Kabupaten/Kota dilaksanakan secara tatap muka melalui curah pendapat, presentasi, tugas mandiri, dan diskusi kelompok. Para peserta mengikuti lokakarya dengan total 32 Jam Pelajaran (JP), dengan durasi 1 JP selama 45 menit. Materi yang diberikan yaitu Pengembangan Pembelajaran Terdiferensiasi, Pengembangan Perencanaan Pembelajaran, Pengembangan Projek Profil Pelajar Pancasila, Pengembangan Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan, Pengembangan Kurikulum Muatan Lokal, Pola Pikir Berkembang (Growth Mindset), Pengembangan Solusi Lokal Berbasis Data atau Masalah Lokal, dan Pemanfaatan Sistem Informasi Kurikulum Nasional (SIKN)/Laman Puskurjar. Peserta juga mengikuti Pemetaan Kompetensi yang dilakukan di awal dan akhir lokakarya. (Desliana Maulipaksi)
Sumber :
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 4118 kali
Editor :
Dilihat 4118 kali