Hadiri Simposium Internasional, Indonesia Bagikan Praktik Baik Atasi Kekerasan di Sekolah 06 November 2023 ← Back
Jakarta, 6 November 2023 – Kepala Pusat Penguatan Karakter (Puspeka), Rusprita Putri Utami, hadir mewakili Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Anwar Makarim, dalam kegiatan International Symposium on “Violence in Schools: Knowledge, Policies, and Practices” yang diselenggarakan oleh Conseil Superieur de l’Education, de la Formation et de la Recherche Scientifique (CSEFRS) di Maroko, 1–2 November 2023.
Simposium internasional tersebut dihadiri para pemangku kepentingan di bidang pendidikan yang berasal dari berbagai negara, yaitu Indonesia, Maroko, Kanada, Inggris, Perancis, Finlandia, dan Amerika Serikat. Turut hadir pula dalam kegiatan ini perwakilan dari organisasi internasional seperti PBB, UNICEF, dan UNESCO. Tujuan pertemuan itu adalah untuk membahas mengenai upaya-upaya dan praktik baik yang sudah dilakukan masing-masing negara dalam mencegah dan menangani kekerasan di sekolah. Hal itu sebagai wujud perhatian dan komitmen bersama untuk menghapus kekerasan di dunia pendidikan.
Rusprita hadir sekaligus menjadi salah satu pembicara kunci yang membahas terkait peran pemangku kepentingan dalam mencegah dan memberantas kekerasan di sekolah. Pada kesempatan tersebut, ia pun membagikan praktik baik yang sudah dilakukan Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Di hadapan para delegasi negara peserta, Rusprita menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia berkomitmen untuk memerangi segala bentuk kekerasan di sekolah. Sebagaimana tercantum di dalam tujuan pembangunan Indonesia berkelanjutan yaitu mendorong lingkungan masyarakat yang aman dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses yang adil bagi semua, serta membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
“Kami berkomitmen untuk mengurangi segala bentuk kekerasan, meliputi upaya mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak,” ujar Rusprita.
Berbagai hal yang sudah dilakukan Indonesia, khususnya Kemendikbudristek, dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, salah satunya melalui program Roots. Program Roots bekerja sama dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF) untuk mencegah terjadinya perundungan di sekolah lewat pembentukan agen-agen perubahan yang kini jumlahnya sudah mencapai 66.901 siswa agen perubahan.
Rusprita menjelaskan, program Roots di Indonesia dilaksanakan secara luring dan daring sejak tahun 2021. Hingga kini, program Roots telah mendorong 34,14 persen dari sekolah yang ditargetkan untuk membentuk Tim Pencegahan Kekerasan sekaligus telah mendorong 32,41 persen sekolah untuk mengembangkan prosedur pelaporan yang ramah bagi siswa untuk melaporkan kekerasan di sekolah. Sebanyak 79,66 persen fasilitator guru sepakat bahwa mereka mempunyai hubungan yang lebih positif dengan siswa, dimana siswa merasa aman untuk melaporkan insiden perundungan di sekolah.
“Selain program Roots, kami juga melakukan kampanye secara masif melalui berbagai platform media sosial seperti Youtube, Instagram, Facebook, TikTok, dan Podcast. Tak dimungkiri, di era digitalisasi seperti sekarang hal itu sangat efektif kita lakukan untuk bisa menyebarluaskan pesan-pesan antikekerasan termasuk di lingkungan sekolah maupun dunia pendidikan,” ucapnya.
Perkuat Regulasi
Dari sisi regulasi, kata Rusprita, Indonesia telah memiliki Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Sejak diluncurkan pada bulan Agustus lalu, Permendikbudristek PPKSP telah mendorong sekolah-sekolah di Indonesia untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
“Meskipun tergolong baru diluncurkan, namun Permendikbudristek PPKSP ini telah membawa dampak yang cukup signifikan terutama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah melalui pembentukan TPPK. Sesuai dengan amanat di dalam Permendikbudristek tersebut, kami menargetkan seluruh sekolah sudah membentuk TPPK di bulan Februari 2024 mendatang atau tepat enam bulan setelah regulasi tersebut diluncurkan,” ungkap Rusprita.
Tidak hanya di lingkup satuan pendidikan atau sekolah, Kemendikbudristek juga mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkup perguruan tinggi yaitu melalui Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Lahirnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 didasari atas komitmen dan harapan untuk melindungi seluruh sivitas akademika dari segala bentuk tindak kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan salah satu dari tiga dosa besar pendidikan, selain perundungan dan intoleransi, yang menjadi isu prioritas untuk segera ditangani.
“Salah satu mandat dari Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 adalah keharusan bagi perguruan tinggi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKS. Pada bulan Februari lalu, seluruh perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia sudah membentuk Satgas PPKS diikuti oleh perguruan tinggi swasta,” tuturnya.
Di akhir paparan, Rusprita mengajak seluruh negara peserta yang hadir untuk bersama-sama memperkuat komitmen dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, beragam, dan aman bagi semua.
“Kami di Indonesia senantiasa memperkuat komitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, beragam, dan aman bagi semua dalam mewujudkan Pelajar Pancasila dan Merdeka Belajar,” pungkasnya. (Tim Puspeka / Editor: Stephanie W.)
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#Merdeka Belajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 609/sipres/A6/XI/2023
Simposium internasional tersebut dihadiri para pemangku kepentingan di bidang pendidikan yang berasal dari berbagai negara, yaitu Indonesia, Maroko, Kanada, Inggris, Perancis, Finlandia, dan Amerika Serikat. Turut hadir pula dalam kegiatan ini perwakilan dari organisasi internasional seperti PBB, UNICEF, dan UNESCO. Tujuan pertemuan itu adalah untuk membahas mengenai upaya-upaya dan praktik baik yang sudah dilakukan masing-masing negara dalam mencegah dan menangani kekerasan di sekolah. Hal itu sebagai wujud perhatian dan komitmen bersama untuk menghapus kekerasan di dunia pendidikan.
Rusprita hadir sekaligus menjadi salah satu pembicara kunci yang membahas terkait peran pemangku kepentingan dalam mencegah dan memberantas kekerasan di sekolah. Pada kesempatan tersebut, ia pun membagikan praktik baik yang sudah dilakukan Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah.
Di hadapan para delegasi negara peserta, Rusprita menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia berkomitmen untuk memerangi segala bentuk kekerasan di sekolah. Sebagaimana tercantum di dalam tujuan pembangunan Indonesia berkelanjutan yaitu mendorong lingkungan masyarakat yang aman dan inklusif untuk pembangunan berkelanjutan, menyediakan akses yang adil bagi semua, serta membangun institusi yang efektif, akuntabel, dan inklusif di semua tingkatan.
“Kami berkomitmen untuk mengurangi segala bentuk kekerasan, meliputi upaya mengakhiri pelecehan, eksploitasi, perdagangan manusia, dan segala bentuk kekerasan dan penyiksaan terhadap anak,” ujar Rusprita.
Berbagai hal yang sudah dilakukan Indonesia, khususnya Kemendikbudristek, dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah, salah satunya melalui program Roots. Program Roots bekerja sama dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF) untuk mencegah terjadinya perundungan di sekolah lewat pembentukan agen-agen perubahan yang kini jumlahnya sudah mencapai 66.901 siswa agen perubahan.
Rusprita menjelaskan, program Roots di Indonesia dilaksanakan secara luring dan daring sejak tahun 2021. Hingga kini, program Roots telah mendorong 34,14 persen dari sekolah yang ditargetkan untuk membentuk Tim Pencegahan Kekerasan sekaligus telah mendorong 32,41 persen sekolah untuk mengembangkan prosedur pelaporan yang ramah bagi siswa untuk melaporkan kekerasan di sekolah. Sebanyak 79,66 persen fasilitator guru sepakat bahwa mereka mempunyai hubungan yang lebih positif dengan siswa, dimana siswa merasa aman untuk melaporkan insiden perundungan di sekolah.
“Selain program Roots, kami juga melakukan kampanye secara masif melalui berbagai platform media sosial seperti Youtube, Instagram, Facebook, TikTok, dan Podcast. Tak dimungkiri, di era digitalisasi seperti sekarang hal itu sangat efektif kita lakukan untuk bisa menyebarluaskan pesan-pesan antikekerasan termasuk di lingkungan sekolah maupun dunia pendidikan,” ucapnya.
Perkuat Regulasi
Dari sisi regulasi, kata Rusprita, Indonesia telah memiliki Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Sejak diluncurkan pada bulan Agustus lalu, Permendikbudristek PPKSP telah mendorong sekolah-sekolah di Indonesia untuk membentuk Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan (TPPK).
“Meskipun tergolong baru diluncurkan, namun Permendikbudristek PPKSP ini telah membawa dampak yang cukup signifikan terutama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan di sekolah melalui pembentukan TPPK. Sesuai dengan amanat di dalam Permendikbudristek tersebut, kami menargetkan seluruh sekolah sudah membentuk TPPK di bulan Februari 2024 mendatang atau tepat enam bulan setelah regulasi tersebut diluncurkan,” ungkap Rusprita.
Tidak hanya di lingkup satuan pendidikan atau sekolah, Kemendikbudristek juga mengeluarkan kebijakan pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkup perguruan tinggi yaitu melalui Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Lahirnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 didasari atas komitmen dan harapan untuk melindungi seluruh sivitas akademika dari segala bentuk tindak kekerasan seksual. Kekerasan seksual merupakan salah satu dari tiga dosa besar pendidikan, selain perundungan dan intoleransi, yang menjadi isu prioritas untuk segera ditangani.
“Salah satu mandat dari Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 adalah keharusan bagi perguruan tinggi untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) PPKS. Pada bulan Februari lalu, seluruh perguruan tinggi negeri yang ada di Indonesia sudah membentuk Satgas PPKS diikuti oleh perguruan tinggi swasta,” tuturnya.
Di akhir paparan, Rusprita mengajak seluruh negara peserta yang hadir untuk bersama-sama memperkuat komitmen dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, beragam, dan aman bagi semua.
“Kami di Indonesia senantiasa memperkuat komitmen untuk menciptakan lingkungan pendidikan yang inklusif, beragam, dan aman bagi semua dalam mewujudkan Pelajar Pancasila dan Merdeka Belajar,” pungkasnya. (Tim Puspeka / Editor: Stephanie W.)
Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat
Sekretariat Jenderal
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi
Laman: kemdikbud.go.id
Twitter: twitter.com/Kemdikbud_RI
Instagram: instagram.com/kemdikbud.ri
Facebook: facebook.com/kemdikbud.ri
Youtube: KEMENDIKBUD RI
Pertanyaan dan Pengaduan: ult.kemdikbud.go.id
#Merdeka Belajar
Sumber : Siaran Pers Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor: 609/sipres/A6/XI/2023
Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 433 kali
Editor :
Dilihat 433 kali