Monolog Edukatif: Kembali ke Akar Sejarah dengan Pertunjukan Di Tepi Sejarah Musim Ketiga 14 Desember 2023 ← Back
Jakarta, 14 Desember 2023 – Direktorat Perfilman, Musik dan Media, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bekerja sama dengan Titimangsa dan KawanKawan Media menggelar pertunjukan “Di Tepi Sejarah” untuk musim ketiga. Berbeda dengan sebelumnya, Di Tepi Sejarah musim pertama dan kedua ditayangkan secara daring di kanal Indonesiana TV. Sementara untuk kali ini, selain ditayangkan secara daring, Di Tepi Sejarah musim ketiga juga dapat disaksikan secara langsung di Teater Salihara.
Di Tepi Sejarah merupakan sebuah seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh yang ada di tepian sejarah. Mereka mungkin kurang disadari kehadirannya dan tersisih dalam catatan besar sejarah bangsa, namun tetap menjadi bagian dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, menyambut baik hadirnya seri terbaru monolog Di Tepi Sejarah. Dirinya menuturkan bahwa Di Tepi Sejarah merupakan salah satu sarana dalam memberikan literasi hingga edukasi kepada masyarakat khususnya anak-anak muda.
"Banyak kisah sejarah inspiratif yang sebelumnya kurang dikenal terutama oleh anak-anak muda, entah karena kurangnya akses ke sumber literasi atau bahkan kurangnya minat untuk mempelajari sejarah tersebut. Namun dengan adanya monolog Di Tepi Sejarah ini, anak-anak muda dapat kembali mempelajari sejarah yang hampir terlupakan tersebut, dan bahkan dapat menjadi bagian dari edukasi." pungkas Mahendra di Jakarta, Selasa (12/12).
Ditemui secara terpisah, Happy Salma selaku pendiri Titimangsa dan produser pementasan pun melihat antusias dari para guru, pelajar, serta masyarakat umum yang menonton pertunjukan Di Tepi Sejarah hingga merasa perlu untuk meneruskan serial monolog ini yang bahkan sekarang sudah sampai memasuki musim ketiganya.
“Di Tepi Sejarah merupakan ruang kolaborasi bagi segala macam disiplin ilmu dalam menghadirkan sebuah karya seni pertunjukan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan tidak hanya merupakan para tokoh yang berada Di Tepian Sejarah, namun juga punya relevansi bagi peradaban bangsa. Sungguh menarik karena kita bisa melihat tokoh yang diangkat melalui sudut pandang orang-orang terdekatnya seolah ada lapisan-lapisan perasaan atau peristiwa lain yang dialami para tokoh. Karya-karya yang dihadirkan tak lepas dari hasil riset, sebab ini merupakan karya interpretasi, yang nantinya dapat disaksikan oleh khalayak yang lebih luas,” terang Happy Salma.
Di sisi lain, Produser Di Tepi Sejarah dari KawanKawan Media, Yulia Evina Bhara, menambahkan, “Penayangan program Di Tepi Sejarah di Indonesiana TV diharapkan menjadi jembatan pertemuan antara tokoh-tokoh sejarah kita dengan penonton yang lebih luas, khususnya kaum muda. Awalnya penayangan secara daring adalah upaya untuk menjangkau penonton yang lebih luas di masa pandemi ketika program Di Tepi Sejarah di inisiasi, namun ternyata animo dari masyarakat yang terlihat dari maraknya resensi yang dibuat oleh pelajar, mahasiswa, dan guru membuat kami melihat bahwa selain untuk hiburan, Di Tepi Sejarah juga dapat menjadi tontonan yang membuka ruang-ruang diskusi terkait tokoh-tokoh yang ada dalam sejarah Indonesia yang jarang dibicarakan.”
Pentas Suamiku Oto dan Bel Pintu
Serial monolog Di Tepi Sejarah musim ketiga yang dilaksanakan di Teater Salihara dimulai dengan pementasan bertajuk Suamiku Oto dan Bel Pintu. Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) tidak hanya merupakan sejarah penting bagi perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara. Masa empat tahun yang penuh ketegangan itu juga telah mengubah arah perjalanan hidup banyak orang. Banyak orang hilang dan lebih banyak lagi mereka yang kehilangan orang yang dicintai. Terlebih lagi ketika kehilangan itu tak menyediakan jawaban selain penculikan dan desas-desus. Ketika jawabannya adalah kematian, istri, anak, dan keluarga tidak mendapati jasad dan kuburnya. Revolusi memang selalu tak pernah utuh memberi jawaban.
Inilah yang dialami RA. Soekirah, perempuan dengan 11 anak, istri Oto Iskandar Dinata. Tokoh pergerakan, Ketua Paguyuban Pasundan, anggota BPUPKI/PPKI, pencipta teriakan “Merdeka”, Menteri Negara Kabinet I Republik Indonesia, ini diculik, lantas dibunuh di tengah berbagai ketegangan dan kepentingan banyak pihak dalam menjalankan revolusi.
Menjadi istri Oto menempa kekuatan RA. Soekirah. Masa-masa genting revolusi dilaluinya seorang diri seraya menjaga dan mendidik anak-anaknya. Di mata anak-anaknya, ia selalu tampak tegar. Tetapi di lubuk hatinya yang terdalam, RA. Soekirah terus berharap bahwa suaminya masih hidup. Apalagi sampai berbulan dan bertahun, selain desas-desus, nasib Oto Iskandar Dinata tetap tak ada kejelasan.
Nia Dinata selaku sutradara dan penulis naskah dalam pertunjukan ini menyatakan, “Menghadirkan kisah Oto Iskandar Dinata melalui sudut pandang istrinya, RA. Soekirah, relevan karena sosok yang saya kenal sejak kecil adalah beliau yang kerap bercerita tentang suaminya, Oto.”
“Melalui diskusi, kami bersepakat mengambil sudut pandang ibu Soekirah. Karakter perempuan-perempuan seperti beliaulah yang mestinya tercatat juga dalam sejarah. Merekalah yang mengalami ketidakpastian, ketika orang tercintanya hilang entah kemana. Sangat relevan dengan situasi saat ini, banyak terjadi kehilangan—misterius—tapi pengalaman tersebut justru menjadi sumber kekuatan istri-istri dan orang terdekat untuk menjalani hidup yang berarti,” lanjut Nia Dinata.
Ia pun menambahkan bahwa karakter Oto Iskandar Dinata yang selalu diceritakan oleh RA. Soekirah adalah sosok yang patriotis, peduli dengan kesetaraan antar etnis dan gender di seluruh Indonesia, dan orang yang selalu percaya pada pendidikan baik formal maupun informal. Meskipun Pak Oto banyak berjuang di luar rumah, tapi semua nilai perjuangan, kesetaraan, dan pendidikan itu diterapkan istri dan anak-anaknya di rumah. Sosok Oto Iskandar Dinata seperti itulah yang ingin coba dihadirkan dalam pertunjukan Suamiku Oto dan Bel Pintu.
Nia Dinata sudah mengenali sosok Ibu Soekirah secara personal, baginya sosok Ibu Soekirah adalah sosok yang tegar, disiplin, dan berwibawa. Ekspresi dan mentalnya itu tidak menunjukan bahwa ia sebetulnya mungkin saja sedang mengalami trauma kehilangan sebagai seorang Istri yang hidup dalam ketidak pastian dengan 11 anaknya. Berkaitan dengan konsep penyutradaraan, ia pun menambahkan bahwa mungkin karena latar film yang jadi profesinya sampai saat ini, sehingga beberapa ruang-ruang waktu dan peristiwa yang dihadirkan itu menggunakan medium audio visual. Pertunjukan Suamiku Oto dan Bel Pintu ini merupakan debut penyutradaran Nia Dinata dalam pertunjukan teater monolog.
Bagi Maudy Koesnaedi, pertunjukan monolog ini merupakan pertunjukan yang berbeda bagi dirinya, salah satunya dalam penggunaan keragaman bahasa yang digunakan. “Ini pertunjukan monolog yang sangat menantang bagi saya, karena disutradarai langsung oleh Cicit dari tokohnya, yang sudah tentu mengenal betul kehidupannya, sehingga fakta yang disampaikan dalam pertunjukan ini berdasarkan informasi yang akurat, jadi saya berusaha menyampaikan seorisinal mungkin.”
Sebagai penulis naskah, Ahda Imran juga memaparkan, “Penulisan naskah monolog ini mendasar pada pembacaan sejumlah referensi ihwal Oto Iskandar Dinata—terutama buku Nina Lubis Si Jalak Harupat atau Iip D. Yahya Oto Iskandar Dinata “The Untold Story”. Dan yang lebih penting, sebagai cicit Oto Iskandar Dinata, Nia Dinata sebagai sutradara, leluasa mendapatkan banyak informasi dari sejumlah anggota keluarga besar Oto Iskandar Dinata. Oleh sebab itu, melalui beberapa kali diskusi, penulisan naskah berlangsung dalam proses yang lumayan panjang.”
Ahda juga menambahkan bahwa Melalui pikiran dan perasaan RA Soekirah, pentas monolog ini menyuguhkan bagaimana kegentingan revolusi masuk ke dalam rumah, yang semuanya itu mengubah sejarah perjalanan keluarga mereka.
Suamiku Oto dan Bel Pintu merupakan produksi Titimangsa ke-69 yang digelar dengan penonton umum di Teater Salihara Jakarta, Selasa, 12 Desember 2023 Pukul 20.00 WIB dan berikutnya akan ditayangkan secara daring di Kanal Youtube Budayasaya dan Kanal Budaya Indonesiana TV.
Setelah pementasan Suamiku Oto dan Bel Pintu, Di Tepi Sejarah akan dipentaskan pula monolog tokoh Ruhana Kuddus sebagai pejuang kaum Perempuan, Fransisca Casparina sebagai seorang diplomat yang aktif berjuang pasca kemerdekaan, Tan Tjeng Bok yang merupakan seniman multitalenta yang kiprah seninya bertahan melewati tiga zaman, dan Tirto Adhi Soerjo yang merupakan seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. (Penulis: Tim Dit. PMM / Editor: Stephanie W.)
Di Tepi Sejarah merupakan sebuah seri monolog yang menceritakan tentang tokoh-tokoh yang ada di tepian sejarah. Mereka mungkin kurang disadari kehadirannya dan tersisih dalam catatan besar sejarah bangsa, namun tetap menjadi bagian dalam peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Indonesia.
Direktur Perfilman, Musik, dan Media, Kemendikbudristek, Ahmad Mahendra, menyambut baik hadirnya seri terbaru monolog Di Tepi Sejarah. Dirinya menuturkan bahwa Di Tepi Sejarah merupakan salah satu sarana dalam memberikan literasi hingga edukasi kepada masyarakat khususnya anak-anak muda.
"Banyak kisah sejarah inspiratif yang sebelumnya kurang dikenal terutama oleh anak-anak muda, entah karena kurangnya akses ke sumber literasi atau bahkan kurangnya minat untuk mempelajari sejarah tersebut. Namun dengan adanya monolog Di Tepi Sejarah ini, anak-anak muda dapat kembali mempelajari sejarah yang hampir terlupakan tersebut, dan bahkan dapat menjadi bagian dari edukasi." pungkas Mahendra di Jakarta, Selasa (12/12).
Ditemui secara terpisah, Happy Salma selaku pendiri Titimangsa dan produser pementasan pun melihat antusias dari para guru, pelajar, serta masyarakat umum yang menonton pertunjukan Di Tepi Sejarah hingga merasa perlu untuk meneruskan serial monolog ini yang bahkan sekarang sudah sampai memasuki musim ketiganya.
“Di Tepi Sejarah merupakan ruang kolaborasi bagi segala macam disiplin ilmu dalam menghadirkan sebuah karya seni pertunjukan. Tokoh-tokoh yang dihadirkan tidak hanya merupakan para tokoh yang berada Di Tepian Sejarah, namun juga punya relevansi bagi peradaban bangsa. Sungguh menarik karena kita bisa melihat tokoh yang diangkat melalui sudut pandang orang-orang terdekatnya seolah ada lapisan-lapisan perasaan atau peristiwa lain yang dialami para tokoh. Karya-karya yang dihadirkan tak lepas dari hasil riset, sebab ini merupakan karya interpretasi, yang nantinya dapat disaksikan oleh khalayak yang lebih luas,” terang Happy Salma.
Di sisi lain, Produser Di Tepi Sejarah dari KawanKawan Media, Yulia Evina Bhara, menambahkan, “Penayangan program Di Tepi Sejarah di Indonesiana TV diharapkan menjadi jembatan pertemuan antara tokoh-tokoh sejarah kita dengan penonton yang lebih luas, khususnya kaum muda. Awalnya penayangan secara daring adalah upaya untuk menjangkau penonton yang lebih luas di masa pandemi ketika program Di Tepi Sejarah di inisiasi, namun ternyata animo dari masyarakat yang terlihat dari maraknya resensi yang dibuat oleh pelajar, mahasiswa, dan guru membuat kami melihat bahwa selain untuk hiburan, Di Tepi Sejarah juga dapat menjadi tontonan yang membuka ruang-ruang diskusi terkait tokoh-tokoh yang ada dalam sejarah Indonesia yang jarang dibicarakan.”
Pentas Suamiku Oto dan Bel Pintu
Serial monolog Di Tepi Sejarah musim ketiga yang dilaksanakan di Teater Salihara dimulai dengan pementasan bertajuk Suamiku Oto dan Bel Pintu. Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) tidak hanya merupakan sejarah penting bagi perjalanan Indonesia sebagai sebuah negara. Masa empat tahun yang penuh ketegangan itu juga telah mengubah arah perjalanan hidup banyak orang. Banyak orang hilang dan lebih banyak lagi mereka yang kehilangan orang yang dicintai. Terlebih lagi ketika kehilangan itu tak menyediakan jawaban selain penculikan dan desas-desus. Ketika jawabannya adalah kematian, istri, anak, dan keluarga tidak mendapati jasad dan kuburnya. Revolusi memang selalu tak pernah utuh memberi jawaban.
Inilah yang dialami RA. Soekirah, perempuan dengan 11 anak, istri Oto Iskandar Dinata. Tokoh pergerakan, Ketua Paguyuban Pasundan, anggota BPUPKI/PPKI, pencipta teriakan “Merdeka”, Menteri Negara Kabinet I Republik Indonesia, ini diculik, lantas dibunuh di tengah berbagai ketegangan dan kepentingan banyak pihak dalam menjalankan revolusi.
Menjadi istri Oto menempa kekuatan RA. Soekirah. Masa-masa genting revolusi dilaluinya seorang diri seraya menjaga dan mendidik anak-anaknya. Di mata anak-anaknya, ia selalu tampak tegar. Tetapi di lubuk hatinya yang terdalam, RA. Soekirah terus berharap bahwa suaminya masih hidup. Apalagi sampai berbulan dan bertahun, selain desas-desus, nasib Oto Iskandar Dinata tetap tak ada kejelasan.
Nia Dinata selaku sutradara dan penulis naskah dalam pertunjukan ini menyatakan, “Menghadirkan kisah Oto Iskandar Dinata melalui sudut pandang istrinya, RA. Soekirah, relevan karena sosok yang saya kenal sejak kecil adalah beliau yang kerap bercerita tentang suaminya, Oto.”
“Melalui diskusi, kami bersepakat mengambil sudut pandang ibu Soekirah. Karakter perempuan-perempuan seperti beliaulah yang mestinya tercatat juga dalam sejarah. Merekalah yang mengalami ketidakpastian, ketika orang tercintanya hilang entah kemana. Sangat relevan dengan situasi saat ini, banyak terjadi kehilangan—misterius—tapi pengalaman tersebut justru menjadi sumber kekuatan istri-istri dan orang terdekat untuk menjalani hidup yang berarti,” lanjut Nia Dinata.
Ia pun menambahkan bahwa karakter Oto Iskandar Dinata yang selalu diceritakan oleh RA. Soekirah adalah sosok yang patriotis, peduli dengan kesetaraan antar etnis dan gender di seluruh Indonesia, dan orang yang selalu percaya pada pendidikan baik formal maupun informal. Meskipun Pak Oto banyak berjuang di luar rumah, tapi semua nilai perjuangan, kesetaraan, dan pendidikan itu diterapkan istri dan anak-anaknya di rumah. Sosok Oto Iskandar Dinata seperti itulah yang ingin coba dihadirkan dalam pertunjukan Suamiku Oto dan Bel Pintu.
Nia Dinata sudah mengenali sosok Ibu Soekirah secara personal, baginya sosok Ibu Soekirah adalah sosok yang tegar, disiplin, dan berwibawa. Ekspresi dan mentalnya itu tidak menunjukan bahwa ia sebetulnya mungkin saja sedang mengalami trauma kehilangan sebagai seorang Istri yang hidup dalam ketidak pastian dengan 11 anaknya. Berkaitan dengan konsep penyutradaraan, ia pun menambahkan bahwa mungkin karena latar film yang jadi profesinya sampai saat ini, sehingga beberapa ruang-ruang waktu dan peristiwa yang dihadirkan itu menggunakan medium audio visual. Pertunjukan Suamiku Oto dan Bel Pintu ini merupakan debut penyutradaran Nia Dinata dalam pertunjukan teater monolog.
Bagi Maudy Koesnaedi, pertunjukan monolog ini merupakan pertunjukan yang berbeda bagi dirinya, salah satunya dalam penggunaan keragaman bahasa yang digunakan. “Ini pertunjukan monolog yang sangat menantang bagi saya, karena disutradarai langsung oleh Cicit dari tokohnya, yang sudah tentu mengenal betul kehidupannya, sehingga fakta yang disampaikan dalam pertunjukan ini berdasarkan informasi yang akurat, jadi saya berusaha menyampaikan seorisinal mungkin.”
Sebagai penulis naskah, Ahda Imran juga memaparkan, “Penulisan naskah monolog ini mendasar pada pembacaan sejumlah referensi ihwal Oto Iskandar Dinata—terutama buku Nina Lubis Si Jalak Harupat atau Iip D. Yahya Oto Iskandar Dinata “The Untold Story”. Dan yang lebih penting, sebagai cicit Oto Iskandar Dinata, Nia Dinata sebagai sutradara, leluasa mendapatkan banyak informasi dari sejumlah anggota keluarga besar Oto Iskandar Dinata. Oleh sebab itu, melalui beberapa kali diskusi, penulisan naskah berlangsung dalam proses yang lumayan panjang.”
Ahda juga menambahkan bahwa Melalui pikiran dan perasaan RA Soekirah, pentas monolog ini menyuguhkan bagaimana kegentingan revolusi masuk ke dalam rumah, yang semuanya itu mengubah sejarah perjalanan keluarga mereka.
Suamiku Oto dan Bel Pintu merupakan produksi Titimangsa ke-69 yang digelar dengan penonton umum di Teater Salihara Jakarta, Selasa, 12 Desember 2023 Pukul 20.00 WIB dan berikutnya akan ditayangkan secara daring di Kanal Youtube Budayasaya dan Kanal Budaya Indonesiana TV.
Setelah pementasan Suamiku Oto dan Bel Pintu, Di Tepi Sejarah akan dipentaskan pula monolog tokoh Ruhana Kuddus sebagai pejuang kaum Perempuan, Fransisca Casparina sebagai seorang diplomat yang aktif berjuang pasca kemerdekaan, Tan Tjeng Bok yang merupakan seniman multitalenta yang kiprah seninya bertahan melewati tiga zaman, dan Tirto Adhi Soerjo yang merupakan seorang tokoh pers dan tokoh kebangkitan nasional Indonesia. (Penulis: Tim Dit. PMM / Editor: Stephanie W.)