Semarak Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional di Kota Bandung  26 Februari 2024  ← Back



Bandung, Kemendikbudristek
—Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun 2024 yang berpusat di Gedung YPK, Jalan Naripan No. 7, Kota Bandung, beberapa waktu lalu berlangsung semarak. Dalam acara Mieling Poé Basa Indung, di antara penonton yang hadir, terdapat beberapa orang Duta Bahasa Provinsi Jawa Barat, diantaranya Selly Nuraprillia dan Dipa Suharto.
 
“Saya merasakan atmosfer yang luar biasa dalam perayaan Hari Bahasa Ibu Internasional kali ini karena banyak unsur yang hadir. Ada kepala Balai dan Kantor Bahasa se-Indonesia, guru, komunitas, dan para pemangku kepentingan,” katanya antusias.
 
Selly optimistis, acara Mieling Poé Basa Indung, dapat memantik minat generasi muda untuk terus melestarikan bahasa daerah, khususnya bahasa Sunda. “Semoga acara seperti ini bisa diadakan kembali supaya bahasa ibu terus lestari,” harapnya yang bertekad untuk terus mengajak rekan sebayanya menggunakan bahasa ibu dalam berinteraksi.
 
Menurut Selly, tantangan terbesar dalam melestarikan bahasa Sunda disebabkan rasa malu dan takut dalam menggunakan bahasa Ibu. Keinginan yang tinggi untuk bisa diterima di lingkungan sekitar pada diri remaja, maraknya penggunaan bahasa campur di lingkungan keluarga, dan stigma ketinggalan zaman, masih menjadi momok di tengah pergaulan generasi muda.
 
“Masuknya bahasa daerah ke dalam kurikulum saya rasa masih efektif sebagai salah satu cara untuk melestarikan bahasa daerah. Sebab, kalau tidak masuk ke dalam kurikulum justru (bahasa daerah) akan lebih cepat hilang. Selain itu, pelibatan anak muda dalam komunitas bahasa daerah juga bisa menjadi upaya dalam melestarikan bahasa ibu,” jelas Selly yang telah menulis 11 buku berbahasa Indonesia dengan topik Antologi puisi, cerpen, dan novel.
 
Pada kesempatan ini, Selly juga bercerita tentang sepak terjangnya mengelola Kampung Literasi di daerah asalnya yaitu Cianjur. Setiap hari masyarakat kampung didorong untuk menggunakan bahasa Sunda. “Di kampung ini kami gagas pojok baca dan aktivitas literasi lainnya yang didukung dan bekerja sama dengan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten Cianjur,” terangnya.
 
Berdasarkan pengalamannya, Selly yakin, peran pemerintah dalam menerbitkan payung regulasi menjadi tonggak sejarah yang sangat penting dalam memastikan keberlanjutan program. Berangkat dari aturan pemda, maka aktivitas literasi menjadi lebih leluasa untuk tumbuh dan berkembang seperti adanya Bunda Literasi dari kecamatan yang bertindak sebagai duta literasi di masyarakat. “Mari kita saling bersinergi untuk pembangunan literasi yang semakin baik.”
 
Senada dengan itu, Dipa Suharto sesama Duta Bahasa Provinsi Jawa Barat menyampaikan bahwa peringatan Hari Bahasa Ibu dapat membangkitkan semangat agar muruah bahasa daerah tetap dijaga kelestariannya sebagai identitas bangsa. “Masyarakat Kota Bandung patut berbangga berbahasa daerah,” ujarnya. Di Jawa Barat sendiri ada tiga bahasa daerah yaitu bahasa Sunda, bahasa Melayu Betawi, dan bahasa Jawa Dialek.
 
Kepala Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (Badan Bahasa), E. Aminudian Aziz mengatakan, “Tujuan umum acara ini adalah untuk memelihara bahasa ibu, khususnya bahasa Sunda. Kami senang ada partisipasi masyarakat dan dukungan pemerintah daerah sehingga dapat bersama-sama menggagas acara ini,” ujar Aminudin yang antusias melihat animo 417 orang pengunjung yang memadati lokasi.
 
Peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional tahun 2024 yang bertemakan “Pendidikan Multibahasa sebagai Pilar Pembelajaran Antargenerasi”, merupakan wujud dari kesepakatan Indonesia dengan UNESCO untuk terus melestarikan bahasa ibu, terutama melalui media pembelajaran.
 
Aminudin juga mengakui banyaknya bahasa daerah yang sudah ditinggalkan penuturnya. “Setiap tahunnya, kita kehilangan 200.000 penutur bahasa daerah. Oleh karena itu, Kemendikbudristek melakukan Revitalisasi Bahasa Daerah untuk memperlambat kepunahan bahasa ibu yang memang itu adalah sebuah keniscayaan,” ungkapnya.
 
Sejak tahun 2021, sejumlah 92 bahasa daerah sudah direvitalisasi. “Kita damping terus sekolah dan masyarakat dalam implementasi revitalisasi bahasa daerah tersebut. Revitalisasi yang kami lakukan untuk suatu bahasa daerah tertentu, setiap tahunnya terus kita kelola secara berkesinambungan,” tegasnya seraya berharap makin banyak masyarakat yang menggunakan bahasa daerahnya.
 
Merujuk data Kemendikbudristek, pada 2019 ada 11 bahasa daerah yang punah karena tidak ada penuturnya. Melihat vitalitas bahasa daerah yang terus menurun ini, Badan Bahasa melakukan revitalisasi bahasa daerah sesuai dengan karakteristiknya. Upaya perlindungan bahasa dan sastra meliputi: 1) pemetaan bahasa; 2) kajian vitalitas bahasa; 3) konservasi; 4) revitalisasi; dan 5) registrasi.
 
Adapun revitalisasi bahasa daerah dilakukan sesuai dengan karakteristik bahasa daerah itu sendiri. Kemendikbudristek merancang tiga model revitalisasi yang disesuaikan dengan kondisi di lapangan. Model A, karakteristik daya hidup bahasanya masih aman, jumlah penuturnya masih banyak, dan masih digunakan sebagai bahasa yang dominan di dalam masyarakat tuturnya. Pendekatan yang dilakukan pada model A ini, adalah pewarisan dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah (berbasis sekolah). Contohnya Bahasa Jawa, Sunda, dan Bali.

Selanjutnya, model B dengan karakteristik daya hidup bahasanya tergolong rentan, jumlah penuturnya relatif banyak dan bahasa daerahnya digunakan secara bersaing dengan bahasa-bahasa daerah lain. Pendekatan pada model ini adalah pewarisan dapat dilakukan secara terstruktur melalui pembelajaran di sekolah jika wilayah tutur bahasa itu memadai dan pewarisan dalam wilayah tutur bahasa juga dapat dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas.
 
Kemudian, model C dengan karakteristik daya hidup bahasanya kategori mengalami kemunduran, terancam punah, atau kritis, serta jumlah penutur sedikit dan dengan sebaran terbatas. Pendekatan yang dilakukan pada model ini adalah pewarisan dapat  dilakukan melalui pembelajaran berbasis komunitas untuk wilayah tutur bahasa yang terbatas dan khas dan pembelajaran dilakukan dengan menunjuk dua atau lebih keluarga sebagai model tempat belajar atau dilakukan di pusat kegiatan masyarakat,  seperti  tempat ibadah, kantor desa, atau taman bacaan masyarakat.*** (Penulis: Denty A./Editor: Meryna. A)
 
 

Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 789 kali