Kisah Pemimpin Pembelajaran yang Menggerakkan Ekosistem Pendidikan  11 Maret 2024  ← Back


 
Jakarta, Kemendikbudristek - Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah (Ditjen PAUD Dikdasmen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan teknologi (Kemendikbudristek) kembali menggelar program siniar Telusur Inspirasi dalam rangka meningkatkan pemahaman dan dukungan terkait cerita Memimpin Transformasi Satuan Pendidikan. Siniar Telusur Inspirasi yang sudah memasuki episode ketiga tersebut ditayangkan melalui kanal Youtube Ditjen PAUD Dikdasmen Jumat (8/3) lalu dengan tajuk Pemimpin adalah Penggerak Perubahan.
 
Siniar Telusur Inspirasi yang langsung dipandu oleh Iwan Syaril selalu Dirjen PAUD Dikdasmen ini menghadirkan dua kepala sekolah inspiratif, Titin Sulistiawati Kepala Sekolah SLB Ayah Bunda Bogor, dan I Komang Muliantara Kepala SD Negeri 4 Bebetin Buleleng. Dalam program siniar, dua kepala sekolah tersebut diajak untuk membagikan berbagai dampak praktik baik dari satuan pendidikan mereka masing-masing, yang secara bertahap telah bertransformasi dengan mengimplementasikan kurikulum merdeka, dan berkolaborasi bersama ekosistem pendidikan. 
 
Bunda Titin, begitu Kepala Sekolah SLB Ayah Bunda itu disapa, dalam perjalanan hidupnya menjadi guru sudah hampir 30 tahun mengabdikan diri sejak tahun 1995. Ia memulai karirnya di TK dan SD di YKPI Angke Jakarta Barat. Kemudian pada tahun 2002 Bunda Titin pindah mengikuti tempat tinggal suaminya di daerah Parung Panjang, Tangerang dan mendirikan SLB Ayah Bunda, dan menjadi kepala sekolah hingga sekarang (2024).
 
Dalam tayangan Telusur Inspirasi, Bunda Titin mengisahkan bagaimana prosesnya mendirikan SLB di Parung Panjang. Ia mengungkapkan ketika ia pindah ke Parung Panjang, belum ada sama sekali SLB di daerah tersebut, sementara banyak anak-anak yang berkebutuhan khusus.
 
“Ketika saya datangi orang tua, (saya bertanya) anak-anaknya di sekolahkan atau tidak? Mereka jawab, “Tidak. Kalau disekolahkan harus jauh ke Tangerang. Saat itu kondisinya tidak mudah, ditambah tidak ada yang gratis, sementara saya lihat mereka dari (kalangan ekonomi) menengah ke bawah. Oleh karena itu, saya berniat untuk mendirikan sekolah, mulai dari mengontrak,” kata Bunda Titin ketika ditanya Dirjen PAUD Dikdasmen tentang motivasinya pertama kali mendirikan sekolah.
 
Untuk mengisi kebutuhan tenaga pengajar di sekolahnya, Bunda Titin mengumpulkan anak-anak yang baru lulus SMA untuk ikut mengajar. Dalam perjalanannya mendirikan sekolah, banyak  tantangan yang ia hadapi. Seperti saat ia sudah menyewa bangunan selama dua tahun, ruko yang ia kontrak tersebut mau dijual oleh pemiliknya.
 
“Saya sampai nangis, saya bersujud. Ya Allah, tidak mungkin anak-anak saya ini keluar dari sini dengan kondisi tidak punya gedung. Anak-anaknya banyak, guru-guru juga, sampai saya tidak tahu lagi harus bagaimana. Mereka tidak ada bayaran waktu itu, belum ada BOS, uangnya semua dari kami, dari teman-teman,” cerita Bunda Titin. 
 
Ia mengisahkan doanya menjadi pembuka jalan, yang kemudian ada tawaran bagi sekolah dari pengawasnya untuk menerima bantuan pembiayaan dari pemerintah.
 
“Saya langsung mempersiapkan berkas, langsung berangkat ke Bandung. Waktu itu tahun 2004. Langsung saya telpon yang punya ruko, dan saya minta waktu, dan kami tidak terjadi terusir sampai saat ini. Sampai sekarang gedungnya masih sama, dari menyewa sampai membeli, sampai mempunyai tanah di belakang,” cerita Bu Titin penuh haru.
 
Mendengar kisah perjuangan Bunda Titin, Iwan Syahril pun penasaran. Sebab sebagai kepala sekolah pasti tidak mudah untuk melakukan perubahan seperti yang dicita-citakan. Iwan Syahril pun bertanya, melalui gerakan Merdeka Belajar, hal apa yang menjadi pengungkit dalam membantu Bunda Titin mewujudkan cita-cita yakni memberikan layanan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak.
 
“Saya selalu mengatakan ke teman-teman bahwa perubahan itu pasti. Perubahan itu sangat cepat sekali. Otomatis dengan transformasi melalui Kurikulum Merdeka itu mau-tidak mau kita harus berubah. Saya selalu memberikan arahan kepada guru-guru agar mereka mau menerima kurikulum yang baru. Transformasi pendidikan dengan Kurikulum Merdeka ini bukan cuma tanggung jawab pusat, tapi juga tanggung jawab guru, siswa, pemerintahan daerah, dan tanggung jawab saya sebagai kepala sekolah,” kata Bunda Titin.
 
Sementara itu, I Komang Muliantara, Kepala SD Negeri 4 Bebetin Buleleng, mengatakan bahwa dalam gerakan Merdeka Belajar dibutuhkan keberanian untuk berkorban demi kemajuan dunia pendidikan. “Kita harus mampu menggerakkan diri sendiri karena motivasi itu muncul ketika kita dihadapkan pada tantangan yang beragam. Itulah filosofi ‘perahu sekoci’,” terang Pak Komang.
 
Lebih lanjut, Komang menjelaskan mengenai filosofi ‘perahu sekoci’ yang dinilai cocok menjadi perumpamaan kondisi sekolahnya yang mungkin dianggap tidak layak seperti sekolah lain pada umumnya. Ia membayangkan sekolah kecilnya bagaikan perahu sekoci yang harus adaptif mengatasi tantangan saat berada di samudera luas.
 
“Bagaimana kita harus berstrategi ketika berada di samudera luas, guna menghalau berbagai guncangan yang terjadi di satuan pendidikan. Bagaimana kita bisa ajeg terhadap perubahan. Kemudian, kita mengutamakan kemanusiaan dan keselamatan. Kita tidak mungkin menjatuhkan satu awak dalam satu sekoci itu ketika keberlebihan muatan. Termasuk daya saing, kita bisa tumbuh besar dengan komitmen bersama,” cerita Pak Komang menjelaskan filosofi yang ia gunakan untuk menggerakkan warga sekolahnya.
 
Komang sendiri memulai karirnya sebagai seorang guru pada tahun 2010 di SD di SDN 5 Sudaji hingga 2018. Kemudian, ia pindah menjadi guru SDN 1 Sekumpul hingga tahun 2019. Barulah kemudian pada tahun 2019 menjadi Kepala Sekolah di SD 4 Bebetin sampai sekarang.
 
Kisahnya di SDN Bebetin 4 juga tidak mudah, karena pada periode awal ia mengajar di sana jumlah siswanya hanya di bawah 60 orang (sejak tahun 2009 s.d. 2018). Dari hasil jajak pendapat bahkan orang tua memandang pembelajaran di sekolah tidak menyenangkan sehingga dipandang tidak layak dan membuat orang tua tidak ingin menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut. 
 
Baru kemudian tahun 2019 setelah Komang membuat program-program yang menarik, sekolah tersebut kembali dilirik masyarakat sekitar. Salah satunya lewat pengelolaan aset SDM (guru-guru) di mana guru-guru merasa dihargai dengan diberikan tugas sesuai kemampuannya. Selain itu, Komang yang tergabung dalam komunitas belajar antarsatuan pendidikan yang bernama Teratai Cendekia (terdiri dari lima sekolah) berusaha mengubah pola pikir masyarakat. Ia meyakinkan bahwa kelima sekolah ini sama, sama-sama mengajarkan hal yang baik, memiliki program yang saling bergandengan. 
 
Salah satu programnya yaitu Festival Layang-layang Bersama. Kegiatan ini digagas untuk meningkatkan kreativitas dan gotong-royong antarsekolah sehingga tidak ada jarak (gap).  Kemudian juga ada Festival Ogoh-ogoh, yang merupakan festival keagamaan dengan membuat sosok atau simbol karakter dengan tema kebhinekaan yang ingin memunculkan keberagaman dan melestarikan budaya sekaligus melatih keterampilan seni siswa.
 
“Untuk menjadi pemimpin perubahan dalam satuan pendidikan memang harus memiliki motivasi untuk belajar, menjadi teladan dan kemudian berkolaborasi, dan bekerja secara kolektif,” pungkas Iwan Syahril mengomentari perjuangan dua orang pemimpin pembelajaran yang menjadi narasumber dalam Telusur Inspirasi. Masyarakat dapat menyimak siniar secara lengkap melalui tautan berikut https://bit.ly/TelusurInspirasi-Eps3 atau mengakses YouTube Ditjen PAUD Dikdasmen.*** (Penulis: Esha, Tim PAUD Dikdasmen/Editor: Denty A.)
 

Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1994 kali