Peran Orang Tua dalam Pencegahan Perundungan Kekerasan Seksual  10 Maret 2024  ← Back



Jakarta, Kemendikbudristek — Dharma Wanita Persatuan mengadakan webinar mengenai peran orang tua dalam pencegahan perundungan dan kekerasan seksual pada Jumat (8/2), di Jakarta. Acara ini juga disiarkan melalui kanal YouTube Ditjen GTK Kemdikbud RI.
 
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemedikbudristek) telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (PPKSP). Peraturan tersebut bertujuan untuk melindungi peserta didik, pendidik, tenaga kependidikan, serta kelompok disabilitas dari kekerasan sehingga tercipta lingkungan pembelajaran yang inklusif, berkebinekaan dan aman.
 
Merujuk pada Permendikbudristek PPKSP, Melianti selaku moderator menjelaskan empat kunci dalam mencegah kekerasan dan perundungan yakni penguatan tata kelola, membentuk satuan tugas (satgas) sehingga mekanisme dalam PPKSP menjadi jelas, mengadakan sosialisasi untuk membangun kesadaran seluruh warga pendidikan, serta menyediakan sarana dan prasarana dalam implementasi PPKSP.
 
Bertindak sebagai narasumber, Psikolog, CHA, CGA, Nurina, memaparkan peran orang tua dalam mencegah perundungan dan kekerasan seksual. Nurina menjelaskan, dunia pendidikan identik dengan pengabdian. Sebagai seorang psikolog, ia mendatangi sekolah-sekolah dengan kisaran yang berbeda untuk pendampingan psikologis. Peraturan Nomor 46 tahun 2023 menurutnya, menjadi payung hukum yang berfungsi memberikan perlindungan bagi generasi-generasi masa depan dalam menjalani aktivitas pembelajarannya di lingkungan satuan pendidikan. 
 
Parenting bukan sekadar tugas, melainkan sebuah seni yang memerlukan pemahaman mendalam terhadap peran yang kita jalani dan siapa yang menikmati peran kita,” ujarnya. Parenting adalah seni dalam memahami diri sendiri dan orang lain dalam rangka mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak terutama apabila terjadi konflik. “Contoh, memahami anak pertama, hal apa yang dia mau dan pola asuh seperti apa yang sesuai untuknya,” imbuhnya.
 
“Fokus kita bukan hanya melindungi anak sebagai korban, tetapi kita juga harus fokus terhadap anak-anak agar tidak menjadi pelaku,” ujar Ibu Nurina.
 
Terdapat enam karakteristik pelaku perundungan. Pertama, pelaku biasanya agresif (menyerang), seperti ketika masih kecil ia melempar barang saat marah. Sedangkan, agresif verbal adalah menyerang dengan kata-kata tajam dan menusuk. Maka, orang tua harus bertindak dengan mengajari untuk bertanggung jawab atas tindakan anak agar tidak menyakiti orang lain baik dengan tindakan maupun ucapan. 
 
Kedua, pelaku mempunyai sikap untuk mendominasi teman sebaya dan dapat memanipulasi teman-temannya. Cara mengatasinya adalah dengan merangkul anak, memisahkan anak tersebut dari teman-temannya yang ikut merundung. Orang tua harus menjadi kunci agar tidak cemas dan memarahi anak-anak.
 
Ketiga, adanya keinginan yang tinggi dari pelaku untuk memenangkan situasi sehingga cenderung ingin memegang kendali dengan menghalalkan segala cara. Peran orang tua di sini, harus membiasakan anak berorientasi pada proses, untuk mendapatkan hasil. Keempat, anak merasa puas saat menyakiti orang lain ataupun hewan-hewan lemah. Hal ini perlu menjadi perhatian yang penting bagi orang tua. “Kita harus dapat melihat ekspresi anak saat bertindak menyakiti orang lain,” pesannya.
 
Kelima, menolak untuk bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Dari sudut pandang sekolah, banyak orang tua yang terlalu memanjakan anaknya dan ketika melakukan kesalahan di sekolah, orang tua membela anak-anak dan tidak bertindak tegas kepada anak-anak. Keenam, pelaku sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Contoh tindakan pelaku misalnya merundung secara psikologis seperti mengajak orang lain untuk menjauhi seseorang. Peran orang tua di sini penting untuk menganalisa hubungan sebab-akibat, mengapa anak berbuat demikian. 
 
“Kita harus membentuk karakter yang positif dengan menjaga apa yang anak-anak lihat, dengar dan rasakan. Kita harus mengajarkan sikap pengendalian emosi dan memberitahukan mana yang baik dan yang benar agar melakukan tindakan yang sesuai dengan normas,” terang Nurina.
 
Lebih lanjut, Nurina memaparkan beberapa cara untuk mengenali korban perundungan atau pelecehan seksual, seperti 1) sering melamun, gelisah, dan susah tidur; 2) menarik diri dari pertemanan dan lingkungannya; 3) takut melihat sesuatu yang mengingatkan kepada kejadian perundungan atau pelecehan seksual, seperti barang, tempat, dan orang; 4) malas pergi ke sekola; 5) kerusakan pada barang pribadi, 6) terdapat luka memar biasanya pada bagian tubuh yang tertutup; 7) menjadi penyendiri; 8) performa belajar menurun dan tidak fokus belajar; serta 9) muncul keinginan untuk menyakiti diri sendiri.
 
Pendidikan seks sejak dini penting karena alaminya perkembangan anak tentang seks akan melewati tahap perkembangan psikoseksual. Tahap perkembangan psikoseksual menurut teori psikoanalisis dibagi menjadi beberapa tahapan, yaitu 1) Fase Oral (0-18 bulan), fase oral dimana semua yang dipegang anak akan dimasukan ke mulut; 2) Fase Anal (18 bulan-3 tahun), fase anak bermain-main dengan duburnya; 3) Fase Falik (3 tahun - 6 tahun), fase anak memainkan alat kelaminnya; 4) Fase Laten (6 tahun-12 tahun), fase seseorang mulai merasa malu; 5) Fase Genital (12 tahun-dewasa); serta 6) Fase pubertas sampai selanjutnya ketika seseorang sudah mulai menyesuaikan dirinya dengan peran sesuai jenis kelaminnya. 
 
Oleh karena itu, dalam rangka pemenuhan kebutuhan kasih sayang, Nurina mengatakan, anak perempuan cenderung lebih dekat dengan ayahnya. Sedangkan anak laki-laki dengan ibunya. Namun, untuk pembentukan kepribadian, anak laki-laki dengan ayahnya dan anak perempuan dengan ibunya. 
 
Terdapat tiga tahap dalam menghadapi perundungan dan kekerasan seksual, yaitu promotif, preventif, dan kuratif. Dalam tahap promotif, diperlukan sinergi antara orang tua dan sekolah karena orang tua merupakan figur utama keterpercayaan anak usia 0–15 tahun. Di sisi lain, guru perlu meningkatkan kemampuan komunikasinya dan mengetahui psikologi orang tua dan anak. “Agar efektif, sebaiknya pendidikan parenting dan seksual dilakukan perjenjang,” tambah Nurina.
 
Adapun pada tahap preventif (pencegahan), pertimbangkan gaya belajar dan komunikasi anak agar mereka lebih mudah menerima pesan yang diberikan. Terakhir, dalam tahap kuratif (penyembuhan), agar anak ingin terbuka untuk bercerita, buatlah waktu mendengar dan waktu berbicara. Berikanlah umpan balik beberapa hari berikutnya.
 
Orang tua diharapkan dapat melakukan pola asuh yang seimbang antara otoriter, demokratis, dan permisif. Hal lain yang tidak kalah penting adalah menjaga pergaulan anak agar tidak melihat pornografi dan melakukan self harm. Untuk meningkatan kepercayaan diri anak, orang tua dapat mendukung hobi dan kelebihannya. 
 
Sebelum menutup, Nurina menjelaskan beberapa anjuran ketika anak mulai berani bercerita kepada orang tua atau guru. Pertama, mohon tidak bereaksi berlebihan. Kedua, validasi perasaannya dan berikan afirmasi positif. Ketiga, konfirmasi hal tersebut pada pihak terkait, seperti dengan mencari bukti. Keempat, jangan paksa anak bercerita, bila ia trauma dengan peristiwa tersebut dan keberatan untuk bercerita. Terakhir, orang tua dan guru dapat memahami katarsis emosi melalui media dan melakukan terapi warna.*** (Penulis: Gitta, Malya, dan Fira/Editor: Denty A.)
 
 

Sumber :

 


Penulis : pengelola web kemdikbud
Editor :
Dilihat 1632 kali