Semangat Kepala Sekolah Bangun Pendidikan di Tengah Kesulitan Lahan dan Bangunan  02 Maret 2024  ← Back



Ogan Ilir, Kemendikbudristek — Bangunan berbentuk Pondok Bambu itu sangat sederhana untuk disebut sebagai satuan pendidikan atau sekolah. Berdiri di atas lahan cukup luas 12 X 60 meter persegi di tengah Hutan Pohon Karet dan Kebun Nanas. Pondok itu bernama “KB dan TK Bunga Tanjung” yang berbatasan langsung dengan pemakaman umum warga Desa Tanjung Dayang Selatan, Kecamatan Indralaya Selatan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan.
 
Pondok beratapkan rumbia atau daun lontar kering itu berdiri kokoh dengan tiang penyangga dari kayu nangka dan panggung dari bambu. Pondok dibuat seperti aula dengan ruang kelas tidak bersekat menjadi empat bagian. Kelas hanya beralas tikar yang ditutup hamparan karpet. Agar tidak tampias ketika hujan disediakan bilik kayu sebagai pengganti tirai. Tidak ada yang menyangka jika bangunan sangat sederhana itu dari kejauhan adalah Satuan PAUD Bunga Tanjung.
 
“Sekolah saya ada di daerah tertinggal, terdepan dan terluar. Hanya 50 meter dari Kebun Karet dan pemakaman. Sinyal susah. Listrik juga sering padam. Bangunan sekolahnya dari kejauhan tampak seperti kandang kambing atau peternakan ayam. Jauh dari kata memadai. Jelek dan banyak tambalan di sana-sini. Saya nyaris mengundurkan diri sebagai kepala sekolah dan membubarkan sekolah ini karena frustasi,” ungkap Hindun ibu tiga anak kelahiran Tanjung Dayang, 7 Juli 1976.
 
Hindun bercerita, beberapa bulan lalu hatinya sangat hancur karena sekolah yang ia tempati tetiba tidak boleh lagi menggunakan bangunan kosong di sekolah itu. “Padahal kami sudah mengeluarkan anggaran perbaikan bangunan. Membuat sarana belajar dan bermain. Membangun instalasi listrik. Penghentian sepihak itu sungguh membuat hati saya hancur,” ujar Hindun yang merupakan Fasilitator Guru Penggerak Angkatan ke 13 dan Fasilitator PAUDHI Kecamatan Tanjung Dayang.
 
Menurut Hindun, kesedihan mendalam yang dirasakan adalah kenyataan bahwa penolakan tersebut menjadi yang ketujuh. “Bayangkan, sampai tujuh kali kami berpindah tempat selama saya mendirikan sekolah ini pada tahun 2009,” ujarnya ketika ditemui PAUDPEDIA dalam kegiatan Survei Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Program Prioritas Kemendikbudristek di PAUD Bunga Tanjung.
 
Bersyukur Hindun memiliki suami yang selalu memberikan semangat meski terkadang bekerja serabutan. “Saya bersyukur keluarga sangat memberikan support. Tahun lalu, ketika saya sedang patah semangat, suami saya mendapat rejeki sehingga bisa membeli tanah dekat Hutan Karet dan pemakaman ini. Langsung saja kami bangun apa adanya. Bambu dan kayu kami dapat dari pohon di sekitar sekolah. Alhamdulillah bangunan sekolah terbentuk meski kondisinya mirip seperti kandang,” ujarnya nelangsa.
 
Alhamdulillah tahun ini kami mendapatkan 70 siswa yang kami bagi menjadi empat rombongan belajar yaitu kelas Kelompok Bermain, Kelas TK A dan Kelas TK B. Sekolah kami saat ini memiliki 7 orang guru. Untuk uang sekolah kami tidak mematok uang bulanan. Kesepakatan orang tua setiap kali siswa datang ke sekolah masukan uang infak sebesar Rp 2.000 saja. Jika orang tua tidak mampu hari itu memberi maka tidak dipaksakan,” ujar Hindun.
 
Lebih dari itu, lanjutnya tahun ini ada 65 anak yang terdaftar di Dapodik dan akan berhak memperoleh BOSP. “Kami dari dana BOP PAUD sudah dapat mengoperasikan aktivitas sekolah. Dan ada BOP Kinerja juga bisa menjadi tambahan membayar honor guru,” tukasnya.
 
Termotivasi menjadi Guru Penggerak
 
Hindun menegaskan, saat nyaris putus asa, dirinya menemukan Program Guru Penggerak. Ia kemudian mencoba mendaftar. “Saat hendak daftar, mati lampu. Internet mati. Dalam hati kecil saya, rasa-rasanya tak mungkin sekolah ini bisa tergabung dengan Program Guru Penggerak. Namun alhamdulillah berhasil. Saya menjadi guru penggerak karena saya juga guru TK Negeri Pembina Sukaraja, Indragiri Ilir,” tuturnya.
 
Hindun mengisahkan ketika mendaftar menjadi guru penggerak dia tidak pernah patah semangat. Dia terus mencoba dan mencoba. Saat tak ada sinyal, Dia sampai rela menggantungkan gawainya di pohon besar yang ada di halaman sekolah. “HP saya sampai diikat karet, digantung di atas pohon besar demi mendapatkan sinyal,” kenangnya.
 
Hasilnya ternyata tak sia-sia. Sekolah Hindun di TK Pembina Sukaraja akhirnya terpilih sebagai salah satu sekolah yang bergabung dengan PSP angkatan I dan dia baru dapat tergabung pada angkatan ke- 3. Melalui pendekatan yang berfokus pada kebutuhan satuan pendidikan dan berkat dukungan dari guru dan masyarakat sekitar, Hindun akhirnya berhasil menemukan kepercayaan dirinya kembali.
 
“Sekolah saya sebelum membangun pondok ini ada di daerah tertinggal, terdepan dan terluar dari Kecamatan. Sinyal susah. Listrik juga sering padam. Gedung sekolahnya? Jauh dari kata memadai. Jelek dan banyak tambalan di sana-sini. Jika hujan kondisinya lebih menyedihkan lagi,” ungkap Hindun.
 
Merasakan Manfaat dari Program Guru Penggerak
 
Proses pendidikan guru penggerak menurut Hindun, menghadirkan berbagai manfaat positif bagi pesertanya. Setidaknya ada sejumlah manfaat penting program guru penggerak bagi pendidik yang telah dirasakan Hindun.
 
Pertama, pengembangan kompetensi dalam Lokakarya Bersama. Pendidikan Guru Penggerak selama 9 bulan dan pengembangan kompetensi dalam Lokakarya Bersama di dalamnya meliputi program pelatihan daring, lokakarya, konferensi, dan pendampingan selama 9 bulan bagi calon Guru Penggerak secara gratis.
 
Selama pelaksanaan program, guru tetap menjalankan tugas mengajarnya sebagai guru. Pada pelatihan ini, calon guru penggerak akan dipantau terkait capaian perkembangannya. Selain itu, calon guru penggerak juga akan melaksanakan evaluasi hingga tahap pelatihan selesai dilaksanakan. “Dengan demikian, kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berpusat pada murid terasa meningkat,” tekannya.
 
Manfaat kedua yaitu meningkatnya kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran yang berpusat pada murid. Pendidik dapat meningkatkan performa diri sebagai guru yang sebenar-benarnya. Artinya, pendidik menjadi teladan dan mampu memberikan motivasi bagi murid sebagai kekuatan  untuk memberdayakan murid. “Guru akan totalitas dalam memberikan pelayanan pendidikan kepada muridnya. Sehingga di masa yang akan datang, guru dapat mengatasi murid yang bermacam rupa, termasuk murid yang unik dan heterogen,” jelas Hindun. 
 
Manfaat ketiga yaitu mendapatkan pengalaman belajar mandiri dan kelompok yang terbimbing, terstruktur, dan menyenangkan. Menurutnya, belajar dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja. Akan tetapi, konsistensi adalah sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Dengan adanya pelatihan guru penggerak, para pengajar dapat menimba ilmu kembali secara sistematis.
 
Pada tahap pertama seleksi, guru harus melampirkan CV, esai, dan mengikuti tes bakat skolastik. Jika sudah lolos tahap 1 maka akan lanjut ke tahap kedua di mana guru harus menunjukkan simulasi mengajar dan wawancara. Baru setelah lulus kedua tahap tersebut, pendidik dapat mengikuti pelatihan guru penggerak selama 9 bulan.
 
Manfaat keempat yaitu bertemu guru-guru dari berbagai daerah. Hal ini dikarenakan pendaftar calon guru penggerak berasal dari seluruh wilayah di Indonesia. Dengan demikian, para calon guru penggerak dapat bertukar informasi, pengalaman, dan ilmu yang mereka miliki selama pelatihan berlangsung. “Salah satu manfaat penting program guru penggerak bagi pendidik yaitu calon guru penggerak mendapatkan pelatihan dengan orang-orang yang ahli di bidangnya secara gratis,” pungkasnya penuh semangat.*** (Penulis: Eko Harsono/Editor: Denty A.)
 
 

Sumber :

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 1034 kali