Informasi Menarik pada Sesi Deep Dive 1 GSVI 2024  01 Oktober 2024  ← Back



Sanur, Bali, Kemendikbudristek – Forum Gateways Study Visit Indonesia (GSVI) 2024 memberikan sejumlah informasi menarik terkait ekosistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya dalam sesi Deep Dive 1 yang bertajuk “PreK12 Tech Ecosystem: Empowering Educational Actors and Revolutionizing Learning Culture pada Senin (1/10). Pertama adalah adanya intervensi berbasis teknologi. Sebagai ekosistem pendidikan terbesar keempat di dunia dengan 60 juta murid dan 4 juta guru, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam lima tahun ke belakang. Pada saat pandemi, Indonesia menjadi negara dengan waktu penutupan sekolah terlama di seluruh dunia dengan 644 hari. Padahal, data 2018 atau sebelum pandemi mencatat ada sekitar 70 persen dari murid berusia 15 tahun memiliki kompetensi di bawah standar dalam literasi dan numerasi. Oleh karena itu, intervensi berbasis teknologi menjadi cara untuk meminimalkan risiko kehilangan pembelajaran (learning loss).
 
Selanjutnya, Emancipated Learning, bukan Independent Learning. Terminologi “Merdeka Belajar” sering kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris sebagai “Independent Learning”. Namun, terminologi yang sebenarnya adalah “Emancipated Learning”. Semangat yang diusung adalah “Personalized Learning” atau pendidikan sesuai dengan minat dan bakat anak-anak, dengan tenaga pendidik sebagai penuntun.
 
Ada analogi menarik yang disampaikan Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Iwan Syahril mengenai hal ini. Ia menggunakan analogi petani mangga. Untuk menghasilkan buah mangga yang berkualitas, petani harus menabur benih mangga dan mengimplementasikan metode tanam dan perawatan yang sesuai. Kita tidak mungkin memanen mangga jika menanam atau menggunakan metode perawatan biji kopi. 
 
Kemudian adanya distorsi pengetahuan dari pelatihan berjenjang. Pada 2019, hanya ada sekitar 600 ribu guru (<20 persen dari total guru di Indonesia) yang memperoleh pelatihan formal dari pemerintah pusat. Karena bersifat berjenjang, terjadi distorsi informasi antara yang disampaikan pada tingkat pusat dan yang diterima guru-guru di daerah. Adanya Platform Merdeka Mengajar (PMM) dapat mengurangi risiko tersebut. Saat ini, ada sekitar 4,3 juta pengguna PMM (3,2 juta di antaranya pengguna aktif). Selain itu, sebanyak 52 persen dari total 240 ribu guru di area perdesaan turut aktif menggunakan platform tersebut.
 
Menjawab pertanyaan delegasi tentang program pengembangan kapasitas untuk menggunakan platform teknologi, Kemendikbudristek menjelaskan bahwa mereka menemukan adanya indikasi kecemasan kepala sekolah dan guru dalam menghadapi gawai (gadget) ketika mendesain platform, dengan pengecualian telepon pintar (smartphone). Oleh karena itu, PMM didesain agar simpel, ringan, dan mudah digunakan pada telepon pintar. Hal ini yang dinilai sebagai kebijakan inklusif.

Terakhir, Platform ARKAS dan SIPLah yang berbasis teknologi berhasil menyederhanakan proses penganggaran dan pelaporan, serta menghemat waktu yang dibutuhkan hingga lebih dari 5 jam per bulan. (Tim Ditjen PDM / Editor: Stephanie, Denty)
 



Sumber :

 


Penulis : Pengelola Siaran Pers
Editor :
Dilihat 336 kali