Daftar Tanya Jawab Kebijakan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
 
Mengapa pemerintah mengganti USBN?
 
Jawab:
USBN dikembalikan pada esensinya, yaitu asesmen akhir jenjang yang dilakukan oleh guru dan sekolah. Kelulusan siswa pada akhir jenjang memang merupakan wewenang sekolah yang didasarkan pada penilaian oleh guru. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas dan juga prinsip pendidikan bahwa yang paling memahami siswa adalah guru.
 
Selain itu, asesmen akhir jenjang oleh sekolah memungkinkan penilaian yang lebih komprehensif, yang tidak hanya didasarkan pada tes tertulis pada akhir tahun. Hal ini juga mendorong sekolah untuk mengintensifkan dan memperluas pelibatan guru dalam semua tingkat dalam proses asesmen.
 
 
Apa gantinya USBN?

Jawab:
Gantinya adalah ujian yang dikelola tiap-tiap sekolah. Ujian tersebut dapat dilaksanakan dalam beragam bentuk asesmen sesuai dengan kompetensi yang diukur.
 
 
Seperti apa pelaksanaan ujian sekolah pengganti USBN?
 
Jawab:
Dari sisi bentuk ujian, guru boleh dan diharapkan menggunakan beragam bentuk asesmen. Hal ini bisa berupa tes tertulis seperti saat ini. Namun guru juga disarankan menggunakan asesmen bentuk lain seperti penugasan, portofolio siswa, dan project kolaboratif.
 
Dari sisi waktu pelaksanaan, asesmen yang menjadi bagian dari ujian ini tidak selalu harus dilakukan di penghujung tahun ajaran sebagaimana ujian konvensional selama ini. Misalnya, nilai ujian akhir jenjang bisa didasarkan pada penilaian portofolio dan penugasan yang dilakukan sejak semester ganjil.
 
Kedua perubahan ini memungkinkan kompetensi siswa dinilai secara lebih komprehensif. Perubahan ini juga memungkinkan penilaian yang lebih terdiferensiasi, sesuai dengan kebutuhan individual siswa.
 
 
Bagaimana jika guru merasa kurang siap melakukan penilaian akhir jenjang?
 
Jawab:
USBN memposisikan sebagian besar guru sebagai penerima dan pengguna tes yang dikembangkan oleh pemerintah pusat dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di bawah koordinasi dinas pendidikan daerah. Semua siswa dan semua sekolah dalam satu daerah terikat untuk menggunakan bentuk ujian sama.
 
Hal ini menghambat kemerdekaan guru untuk belajar melakukan asesmen. Dengan mengembalikan kewenangan penilaian akhir jenjang pada sekolah, guru didorong untuk mulai dan secara terus menerus mengembangkan kapasitas profesionalnya terkait asesmen.
 
Selain itu, membuat soal tes tertulis yang bermutu memang tidak mudah. Kabar baiknya, penilaian akhir jenjang tidak harus mengandalkan tes tertulis. Guru bisa menggunakan beragam bentuk asesmen yang sesuai dengan kompetensi yang diukur, termasuk bentuk asesmen yang lebih dikenal oleh masing-masing guru. 
 
 
Apa peran yang diharapkan dari dinas pendidikan?
 
Jawab:
Dinas Pendidikan tidak lagi mengkoordinasi atau memfasilitasi penyelenggaraan ujian yang seragam. Peran Dinas diharapkan bergeser ke arah pengembangan kapasitas guru dan sekolah guna meningkatkan mutu pembelajaran.
 
 
Apa konsekuensi kebijakan baru ini pada guru?
 
Jawab:
Guru menjadi lebih merdeka dalam mengajar dan melakukan asesmen siswa. Guru dapat melakukan asesmen yang lebih sesuai untuk kebutuhan siswa dan situasi kelas/sekolahnya. Hal ini juga mendorong guru untuk terus mengembangkan kompetensi profesionalnya, terutama terkait asesmen siswa.
 
 
Apa konsekuensi kebijakan baru ini bagi sekolah?
 
Jawab:
Sekolah perlu mendukung praktik asesmen yang baik, yakni asesmen yang berdampak positif pada proses dan hasil belajar siswa. Hal ini bisa dilakukan dengan memfasilitasi guru untuk berkolaborasi mengenai strategi asesmen yang tepat bagi siswa dan kondisi sekolah masing-masing.
 
 
Apa konsekuensi kebijakan baru ini bagi siswa?
 
Jawab:
Tekanan psikologis bagi siswa akan berkurang karena asesmen dapat dilakukan secara lebih komprehensif, tidak hanya pada waktu spesifik di akhir tahun ajaran seperti praktik selama ini. Siswa bisa memiliki lebih banyak kesempatan, dan melalui lebih banyak cara, untuk menunjukkan kompetensinya.